Kolom
Selasa, 12 Mei 2015 - 06:40 WIB

KOLOM : Pelajaran tentang Rasa

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (11/5/2015), ditulis jurnalis Solopos Ichwan Prasetyo.

Solopos.com, SOLO — Ini hanyalah catatan singkat saya yang konsepnya muncul secara spontan dalam benak saya begitu mendengar Sri Sultan Hamengku Bawono (HB) X menjelaskan makna sabda dan dhawuh raja yang dia sampaikan beberapa waktu lalu.

Advertisement

Penjelasan itu dikemukakan Sultan di hadapan berbagai wakil elemen masyarakat Kota Jogja—dan mungkin juga masyarakat dari kabupaten-kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta—yang berkumpul di Dalem Wironegaran, pekan lalu, tempat tinggal putri sulung Sultan, G.K.R. Pembayun, yang setelah sabda dan dhawuh raja bernama G.K.R. Mangkubumi.

Anda tak perlu repot menafsirkan catatan saya ini sebagai ”pendukung Sultan” atau ”oposan Sultan”. Maksud saya jelas tidak menuju ranah itu. Ini hanya catatan atas pemaknaan saya terhadap penjelasan Sultan yang saya peroleh berdasarkan ”rasa Jawa” yang saya miliki.

Saya kesulitan mendeskripsikan ”rasa Jawa” dalam kalimat-kalimat berpola subjek-predikat-objek-keterangan (SPOK) sehingga mudah dipahami siapa saja. Kesulitan itu tak jua terurai hingga tiba tenggat saya harus menuliskannya untuk koran ini. Saya memutuskan takkan mendefinisikan ”rasa Jawa” itu dalam kalimat-kalimat berbahasa Indonesia dengan maksud membuat orang lain paham.

Advertisement

Yang menarik bagi saya dari penjelasan Sultan adalah ketika dia mengatakan jangan menggunakan pikiran untuk memaknai sabda dan dhawuh raja itu, tapi gunakanlah rasa. Menurut Sultan, pikiran itu gampang dipengaruhi hawa nafsu. Saya menangkap makna pemberdayaan rasa akan lebih ”titis” membidik makna sesungguhnya dari sabda dan dhawuh raja itu.

Hanya kalimat itu yang membuat saya tertarik. Bukan karena apa-apa. Kalimat itu sering saya dengar saat saya masih dalam masa pertumbuhan dari masa kanak-kanak menuju remaja hingga menjadi manusia dewasa dan mandiri.

Kalimat yang maknanya ”utamakanlah rasa daripada pikir” itu menjadi bagian dari keseharian hidup saya di kaki Gunung Merapi, di wilayah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kalimat-kalimat demikian sering saya dengar dalam pergaulan sehari-hari di keluarga dan keluarga besar ibu dan bapak saya, di pergaulan dengan tetangga, dan terutama dalam pergaulan dengan para pinisepuh di kampung asal usul saya di kaki Gunung Merapi itu.

Advertisement

Ungkapan Sultan itu telah memanifestasi dalam hidup manusia Jawa yang berkebudayaan Jawa. ”Sedaya kedah dipun manah kanthi saestu” atau “sumangga dipun penggalih kanthi saestu” adalah dua kalimat yang bermakna seruan untuk menggunakan rasa (penggalih, manah) dalam memaknai segala sesuatu dalam hidup dan kehidupan.

Tidak ada entitas ”kuasa pikiran” dalam laku itu karena pikiran tunduk kepada penggalih dan manah”. Ini bukan berarti wong Jawa tak rasional sehingga lekat dengan okultisme, klenik, mistisisme, dan hal-hal yang tak terjangkau nalar. Sama sekali bukan demikian maknanya. Laku menggalih dan manah ini untuk memosisikan pikiran agar tak dikuasai hawa nafsu.

Saya menangkap ada kritik tajam dari Sultan terhadap kecenderungan kejawaan sekarang yang serbarasional dan wujud praksisnya adalah serbainstan, terburu nafsu, menegasikan perenungan, dan hanya mengedepankan kepentingan duniawi.

Kejawaan dalam konteks sabda dan dhawuh raja itu bolehlah saya maknai sebagai kecenderungan politik kiwari di internal entitas keraton dan politik secara umum di Daerah Istimewa Yogyakarta dan negeri kita ini dalam tataran yang lebih luas.

Advertisement

Tafsir ”Buwono” menjadi ”Bawono” yang menjadi salah satu hal yang dibahas banyak kalangan setelah penyampaian sabda dan dhawuh raja bagi saya masih dalam konteks menggalih dan manah ini.

Sultan mengatakan “buwono” adalah jagad alit dan “bawono” adalah jagad ageng. Pergantian gelar/nama sebagai simbol kehendak tak menghindari perubahan zaman, tapi justru menyongsong perubahan zaman.

Dalam konteks sekarang Sultan menyadari perubahan zaman tak bisa dihindari. Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat harus berada dalam perubahan zaman yang tak bisa dihindari itu. Keraton Jogja harus berada dalam konteks zaman yang selalu berubah. Dengan menggalih dan manah, tak ada yang keliru dari sabda raja ini.

Bagaimana ihwal paugeran? Ayat kitab suci bisa ditafsirkan dengan berbagai metode dan konteks ruang serta waktu, UUD 1945 bisa diamendemen beberapa kali, tentunya demikian pula paugeran yang menjadi landasan entitas keraton mengada.

Advertisement

Paugeran dalam konteks keraton yang hidup di era modern bukan eksistensi mutlak yang tak bisa direvisi. ”Aktualisasi paugeran” mungkin menjadi terma yang lebih tepat bila terma ”revisi paugeran” dinilai terlalu politis dan memunculkan penilaian ”durhaka” terhadap para leluhur. Aktualisasi sering kali memang membutuhkan perubahan sesuai konteks ruang dan waktu.

Pemberdayaan rasa akan menangkap niat kuat Sultan mewujudkan perubahan di entitas Keraton Jogja yang memungkinkan entitas ini tetap eksis di tengah perubahan zaman yang serbacepat. Dalam konteks ini sekaligus ada kehendak untuk mengajak wong Jogja (=Jawa) mewawas diri: masihkah layak menjadi wong Jawa dan ngugemi budaya Jawa?

Perubahan ”Buwono” menjadi ”Bawono” yang bermakna Keraton Jogja harus manjing di jagat besar dan tak hanya berkutat di jagat kecil adalah strategi simbolis sekaligus praksis bahwa Keraton Jogja harus mengikuti perkembangan zaman. [Baca selanjutnya: Lerem]

 

Lerem
Ketika alur berpikirnya demikian, kehendak Sultan bahwa setelah dia mengemukakan penjelasan makna sabda dan dhawuh raja semua pihak bisa lerem tentu akan terwujud.

Kehendak Sultan yang mengajak mengutamakan rasa itu berhadapan langsung dengan kehendak “politik” yang kini jadi keniscayaan bila dasar berpikirnya adalah kepentingan kekuasaan. Atas nama paugeran—yang tak bisa diubah—akan muncul kekuatan politik yang menentang pengubahan paugeran yang berdimensi masa depan itu—dalam pemaknaan berdasar rasa.

Advertisement

Keistimewaan DIY yang secara legal formal salah satunya diwujudkan dengan jatah “dana keistimewaan” dari pemerintah pusat tentu mengggerakkan insan-insan politik untuk “menguasainya”. Bisa jadi kehendak ini takkan terwujud kala G.K.R. Pembayun nanti benar menjadi Sultan dan otomatis jadi Gubernur DIY.

Ihwal kemungkinan besar—sangat besar—G.K.R. Pembayun jadi Sultan ini saat menjelaskan sabda dan dhawuh raja, Sultah Hamengku Bawono X hanya mengatakan,”Tidak tahu, perintah yang saya terima hanya mengangkat Pembayun jadi Mangkubumi”.

Ini juga manifestasi rasa Jawa untuk menyelesaikan masalah: siji mbaka siji, sapecak mbaka sapecak, aja ndhisiki kersane Allah, aja mburu hawa nepsu. Semuanya berbasis pengendalian diri: rasa.

Dalam pemaknaan wong Jawa menggunakan rasa, perintah yang diterima Sultan yang berbuah sabda dan dhawuh raja itu adalah manifestasi dari laku spiritual seorang raja. Dalam pemaknaan orang awam, itu adalah perintah Tuhan. Muncul pertanyaan: apakah Sultan itu nabi sehingga mendapat perintah langsung dari Tuhan?

Pertanyaan ini jelas pertanyaan yang tak berbasis ”rasa”. Untuk membedah sisi spiritual ini kita bisa mengacu salah satu bait tembang dalam Sastra Gendhing karya Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Sinarkara pangawikan gaib, nora liya mung Allah ingkang wisesa, dupi lair sing gaibe, panggawe kang rahayu, rahayuning pratameng urip, urip tekeng antaka, tangkeping ngaluhur, kaluhuraning kasedan, lan liyan awit sarengat pranatan bumi, sastra lan gumlaring jagad.

Maknanya kira-kira: adapun ilmu gaib, hanya Allah yang mengetahui, jika ilmu gaib itu menjelma, ia menjelma dalam pekerjaan yang baik, bagi hidup sekarang sampai saat mati, untuk mencapai kebahagiaan, gaib yang menjelma itu ialah syariat, yakni peraturan di bumi, yaitu (yang disebut Sultan Agung) sastra bagi seluruh dunia.

Kita berharap pengutamaan rasa iki mencegah Keraton Jogja terpecah, tercerai-berai, dan berakibat entitasnya sebagai penjaga kebudayaan Jawa menjadi tak berwibawa. Jadi, apa itu ”rasa Jawa”? Apa hakikat “mengutamakan rasa” sebagaimana penjelasan Sultan saat membeberkan makna sabda raja dan dhawuh raja pada pekan lalu itu? Ha nggih sumangga dipun penggalih…..

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif