Kolom
Senin, 11 Mei 2015 - 07:40 WIB

GAGASAN : Ambisi Swasembada Mencemaskan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Dwi Munthaha (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (9/5/2015), ditulis Dwi Munthaha. Penulis adalah Direktur Bhuminara Institute dan praktisi pendidikan  pertanian berkelanjutan.   

Solopos.com, SOLO — Presiden Joko Widodo (Jokowi)  menargetkan swasembada pangan dalam tiga tahun ke depan. Pada 1986 Presiden Soeharto mendapatkan penghargaan dari Food dan Agriculture Organization (FAO) karena berhasil berswasembada beras.

Advertisement

Prestasi tersebut kemudian melorot. Indonesia yang dikenal sebagai negeri agraris dengan tanah yang subur sekarang termasuk negara pengimpor beras  terbanyak di dunia.  Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014, impor pangan dalam 10 tahun terakhir melonjak dari senilai US$3,34 miliar pada 2003 menjadi US$14,90 miliar pada 2013.

Mengapa hal ini dapat terjadi? Utama yang harus dipahami, petani adalah subjek penting dalam pertanian. Sejak Indonesia merdeka,  rezim seakan-akan memiliki empati yang tinggi terhadap petani.  Petani dianggap  entitas yang tertindas dan harus ditolong.

Advertisement

Mengapa hal ini dapat terjadi? Utama yang harus dipahami, petani adalah subjek penting dalam pertanian. Sejak Indonesia merdeka,  rezim seakan-akan memiliki empati yang tinggi terhadap petani.  Petani dianggap  entitas yang tertindas dan harus ditolong.

Kisah petani subsisten Marhaen menginspirasi  Soekarno  merumuskan marhaenisme sebagai ideologi  perjuangan. Sayangnya, saat berkuasa hingga akhir kekuasaaanya, dia tak sempat mendetailkan marhaenisme menjadi praksis gerakan yang mampu mengangkat derajat petani.

Presiden Soeharto yang mengidentifikasi diri sebagai wong ndesa juga menunjukkan keberpihakannya kepada petani. Secara konkret program-program untuk petani dan pedesaan mendapat porsi utama di awal kekuasaannya.

Advertisement

Politik Soekarno  yang menyatakan go to hell with your aid kepada blok Barat dikubur ketika Soeharto berkuasa. Indonesia mudah mengakses pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional. Kemudahan tersebut dimanfaatkan Soeharto untuk mewujudkan ambisi swasembada pangan.

Pada 1970-an hingga 1980-an dilaksanakan megaproyek infrastruktur puluhan waduk, bendungan, serta jaringan irigasi. Untuk memacu percepatan produksi, dibentuk lembaga-lembaga pendukung seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi  dan Balai Benih yang menghasilkan varietas unggulan.

Salah satu yang sangat dikenal saat itu adalah varietas unggul tahan wereng (VUTW).  Industri sarana produksi (saprodi) seperti pupuk, pestisida, dan benih dibangun untuk memuluskan rencana tersebut.  Koperasi-koperasi unit desa didirikan untuk mempermudah petani mendapatkan saprodi.

Advertisement

Dukungan ini berbanding lurus dengan produksi. Petani yang sebelumnya hanya menanam padi satu kali mampu meningkat menjadi 2-3 kali dalam setahun. Apa yang terjadi setelah itu?  Setelah Presiden Soeharto kembali dari menerima penghargaan swasembada beras dari FAO di Roma, 1986,  secara masif terjadi ledakan wereng cokelat yang berakibat  gagal panen di seluruh wilayah sentra tanaman padi. [Keterasingan Petani]

 

Keterasingan Petani
Ada dua faktor yang diabaikan pemerintahan. Pertama, faktor kultural yang mengaitkan petani dengan budaya pertanian. Kedua, faktor ekologis. Pertanian bagi masyarakat petani bukan semata aktivitas  tanam menanam.  Saat modernisasi masuk ke lahan pertanian,  petani justru terasing dengan dunianya sendiri.  Petani direduksi menjadi sebatas orang yang bekerja di lahan pertanian.

Advertisement

Banyak aktivitas yang dulu dilakukan kini sulit ditemui,  misalnya pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman telah menjadi domain peneliti.  Petani cendrung menunggu bantuan benih atau membelinya dengan berbagai konsekuensi (mahal dan palsu).

Pada masa lalu petani Indonesia hampir  tak bermasalah dengan benih karena lebih dari 5.000 varietas padi kita miliki.  Target swasembada beras mewajibkan petani menggunakan varietas-varietas unggulan berikut paket teknologi penerapannya. Awalnya terjadi penolakan dari petani.

Militer digunakan untuk mengawasi. Jika ada yang membangkang, tanaman dicabuti dan dituduh komunis. Trauma kekerasan berhasil menaklukkan petani. Ambisi produktivitas  dengan modernisasi dan mekanisasi di lahan pertanian berdampak pada kerusakan ekologis.

Ledakan wereng saat itu tidak terjadi dengan sendirinya. Penggunaan insektisida  berspektrum luas (organofosfat, organoklorin, dan lain-lain) serta matinya musuh alami (predator) berakibat pertumbuhan wereng cokelat tak terkendali.

Penggunaan pupuk kimia pabrikan untuk memicu kesuburan tanaman pada kenyataannya semakin merusak kesuburan tanah. Pola pertanian ini membuat  biaya produksi menjadi tinggi dan tidak sebanding dengan hasil diperoleh. Daya dukung infrastruktur yang dulu dibangun semakin berkurang.

Faktor-faktor tersebut yang menurunkan minat orang di sektor ini.  Dalam rentang 10 tahun terakhir terjadi penyusutan 500.000 keluarga pertani per tahun.  Lahan pertanian terkonversi sekitar 100.000 hektare per tahun (Sensus Pertanian 2013).

Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi membersitkan harapan baru. Persoalan pertanian tidak hanya dilihat dari masalah infrastruktur yang tidak mendukung, tetapi lebih holistik dan ekologis.  Istilah ketahanan pangan diganti menjadi kedaulatan pangan, namun perkembangan hingga  saat ini wajar untuk dicemaskan.

Kementerian Pertanian lebih menyukai bekerja sama dengan perusahaan multinasional maupun konglomerat lokal ketimbang memberdayakan petani.

Mengutamakan petani sebagai subjek utama untuk menjalankan pertanian berkelanjutan  adalah agenda besar yang harus dilakukan.  Pada akhirnya cara itu justru membawa bencana bagi petani, pertanian, dan lingkungan.

Belajar dari pengalaman masa lalu, keberhasilan yang sesungguhnya bukanlah capaian yang diperoleh saat ini, tetapi akankah anak cucu kita juga mengalaminya atau justru mereka akan menjadi korban.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif