Kolom
Jumat, 8 Mei 2015 - 07:40 WIB

GAGASAN : Kebangkitan Desa dan Entitas Kebangsaan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Farida Hayati (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (7/5/2015), ditulis Farida Hayati. Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Program Pengembangan Wilayah dan Desa (PWD) Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.

Solopos.com, SOLO — Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri, desa menjadi satu entitas yang berperan penting dalam membangun jati diri bangsa.

Advertisement

Semakin lama peran itu semakin berkurang sehingga desa tak lagi berdaya menghadapi derasnya kekuatan yang cenderung mengeksploitasinya. Lahirnya UU No. 6/2014 tentang Desa memberikan peluang bagi desa untuk bangkit menemukan kembali jati dirinya sebagai entitas kebangsaan.

Sejak zaman kerajaan-kerajaan berkuasa di Nusantara, desa (atau dalam sebutan lain di berbagai daerah di Indonesia) merupakan satuan wilayah tempat warga bersama-sama membentuk karakter berdasarkan adat istiadat untuk menjaga kelangsungan kehidupan mereka.

Desa membentuk karakter melalui proses pengajaran (wulang) dan pengaturan (reh). Para pemimpin desa berperan mengatur warga serta memberikan atau menyampaikan ajaran kepada warga.

Advertisement

Pada masa penjajahan, pemerintah Hindia Belanda menganggap desa sebagai satuan yang penting dengan mengatur pedesaan di wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

Demikian pula pemerintah penjajah Jepang di Indonesia. Pada masa berkuasa di Nusantara, Jepang menetapkan desa sebagai kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat dari wilayah administratif Pemerintahan Timur Raya.

Jepang membentuk rukun tetangga (RT) sebagai bagian dari sistem pengawasan dan pengendalian pergerakan paling bawah. RT ini masih dipertahankan sebagai bagian dari desa hingga masa kini.

Setelah proklamasi kemerdekaan, UU No. 22/1948 tentang Pemerintahan Daerah memosisikan desa sebagai entitas sangat strategis di wilayah hukum Republik Indonesia dan yang paling utama menjaga keutuhan wilayah NKRI.

Advertisement

Setelah itu, konsep desa berkembang dengan beberapa perubahan regulasi. Hingga pada 2004, UU No. 24/2004 tentang Pemerintahan Daerah mencatatkan desa sebagai wilayah hukum bagian pemerintahan otonomi daerah yang mendapatkan alokasi dana desa.

Perbedaan karakteristik perdesaan dan perkotaan mendasari kebijakan-kebijakan pembangunan. Pembedaan tersebut semakin memperlihatkan kesenjangan antara keduanya.

Kemiskinan di Indonesia hingga saat ini masih didominasi kemiskinan di wilayah perdesaan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mencatat masih terjadi ketimpangan pendapatan antarkelompok masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya rasio Gini dari 0,37 pada 2007 menjadi 0,41 pada 2012.

Hal ini menunjukkan pendapatan nasional belum dapat dinikmati oleh seluruh penduduk sekaligus menggambarkan masih besarnya angka kemiskinan dan kerentanan.

Advertisement

Gambaran lain adalah pengeluaran konsumsi rata-rata per kapita di perdesaan sebesar 3,54%, lebih kecil dibandingkan di perkotaan yang sebesar 5,61%. Berdasarkan perubahan harga yang berbeda konsumsi rata-rata per kapita di perdesaan lebih merata dibandingkan di perkotaan.

Selain kemiskinan, wajah desa saat ini juga identik dengan eksploitasi sumber daya alam dan alih fungsi penggunaan lahan dari pertanian ke fungsi lainnya seperti industri dan permukiman.

Pertanian bukan lagi sektor dan mata pencaharian yang menarik bagi generasi muda. Ini juga berarti ancaman terhadap ketahanan pangan. Meninggalkan desa menjadi lebih menarik dan menjanjikan. Kebijakan yang tidak berpihak kepada pertanian dan perdesaan akan semakin memperparah situasi. [Selanjutnya: Momentum]

 

Advertisement

Momentum
Pemberlakuan UU No. 6/2014 tentang Desa memberikan mandat utama menyejahterakan masyarakat melalui kewenangan untuk memberdayakan masyarakat, membangun desa, dan meningkatkan pelayanan publik desa.

Terlepas dari berbagai kekurangannya, undang-undang ini memberikan peluang bagi desa untuk bangkit dan menjadikan desa kembali menjadi entitas pembangun jati diri bangsa.

Peluang utama adalah kewenangan desa, baik kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, maupun kewenangan yang ditugaskan pemerintah di atasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adanya kewenangan ini membuka peluang lainnya untuk menentukan berbagai regulasi. Peraturan dapat bervariasi, misalnya peraturan desa, peraturan bersama kepala desa, dan peraturan kepala desa yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Rancangan peraturan desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa yang juga merupakan peluang lain dari aspek tata kelola pemerintahan. Tata kelola ini relatif komprehensif dengan melibatkan beberapa stakeholders seperti musyawarah desa, badan permusyawaratan desa, masyarakat/warga, dan kepala desa itu sendiri.

Untuk mengakomodasi lokalitas, kepala desa dapat mengembangkan fungsi kelembagaan adat. Peluang penting lainnya adalah pengelolaan keuangan dan aset desa.

Advertisement

Keuangan desa dapat berasal dari banyak sumber, seperti pendapatan asli desa, alokasi dana desa, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), bagi hasil pajak dan retribusi daerah, bantuan keuangan, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Kewenangan ini cukup besar tantangannya, yaitu mengupayakan manfaat yang optimal untuk masyarakat dan kehati-hatian dalam pengelolaan.      Sebesar peluang yang ada, sebesar itu pula tantangannya.

Diperlukan beberapa komitmen untuk dapat memanfaatkan peluang-peluang dengan selamat. Yang pertama adalah meletakkan kepentingan desa di atas kepentingan lainnya.

Hal ini penting mengingat kewenangan mengelola anggaran dan aset desa menjadi luar biasa menariknya sehingga memagari kepentingan desa merupakan keniscayaan.

Kedua adalah keberdayaan masyarakat yang akan menghindarkan desa dari eksploitasi pihak mana pun. Syarat dari timbulnya keberdayaan adalah pendidikan. Pendidikan menjadi prioritas penting, baik pendidikan untuk masyarakat maupun aparat desa.

Ketiga adalah mengembalikan kehidupan yang selaras antara ekonomi dan lingkungan yang dapat dikembangkan melalui pengaturan desa. Dan yang terakhir, bagaimana pembangunan desa dapat dipantau oleh semua stakeholders untuk memastikan kepentingan desa diletakkan di atas kepentingan lainnya.

Jika kita bisa memanfaatkan peluang-peluang ini dengan selamat, desa dapat kembali menjadi entitas kebangsaan untuk belajar dan mengatur diri menuju kejayaan bangsa Indonesia yang selama ini dicita-citakan. Semoga.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif