Program 35.000 Megawatt berupa pemanfaatan tenaga angin di Indonesia, dimulai dari Bantul.
Harianjogja.com, BANTUL-Indonesia akan mengukir sejarah dengan membangun kincir angin penghasil energi listrik sebesar 50 megawatt (MW) setara 50 juta watt. Pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) itu mereplikasi kincir mini bertenaga hibrida yang sudah berjalan empat tahun terakhir. (Baca Juga : PROGRAM 35.000 MEGAWATT : Proyek Pembangkit Listrik Berbiaya Rp1.100 Triliun Dimulai)
Riuh tepuk tangan menggema di Pantai Goa Cemara, Desa Gadingsari, Sanden, Bantul, Senin (4/5/2015) siang, saat Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengumumkan tidak lama lagi Indonesia akan memiliki kincir angin.
“Kita akan buat sejarah, 350 tahun Indonesia dijajah Belanda [Negeri Kincir, sebutan untuk Belanda], enggak ada satu pun kincir dibangun, kita akan mulai sejarah dari Jogja,” tutur Sudirman Said.
“Kita akan buat sejarah, 350 tahun Indonesia dijajah Belanda [Negeri Kincir, sebutan untuk Belanda], enggak ada satu pun kincir dibangun, kita akan mulai sejarah dari Jogja,” tutur Sudirman Said.
Menteri di Kabinet Kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo itu menyampaikan sambutan saat peluncuran program listrik nasional 35.000 MW di Pantai Goa Cemara. Ia menyingung pembangunan PLTB di Bantul yang merupakan bagian program listrik nasional 35.000 MW.
PLTB merupakan satu-satunya proyek listrik nasional, dari ratusan proyek, yang menggunakan energi angin. Sementara, Kabupaten Bantul merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang pertama kali akan memiliki kincir angin berdiameter 15×20 meter itu.
“Kalau kincir angin untuk profit dan besar memang baru pertama di Indonesia, tapi kalau kincir-kincir kecil untuk penelitian, edukasi dan percobaan mungkin sudah banyak di Indonesia, salah satunya di Pantai Pandansimo,” ungkap Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul, Tri Saktiyana.
Pembangunan kincir angin raksasa di Bantul mulanya terinspirasi dari keberadaan 30-an kincir mini yang ada di Pantai Pandansimo, Bantul. Jaraknya sekitar empat kilometer dari Pantai Goa Cemara. Kincir mini ini sudah empat tahun beroperasi. Bedanya dengan kincir raksasa, listrik yang dihasilkan di Pandansimo berasal dari energi hibrida, campuran antara angin yang digerakan oleh kincir dan panas matahari. Hasilnya, ratusan warung makan, pabrik es, pengairan lahan pertanian dan penerangan jalan umum teraliri listrik dari energi ramah lingkungan itu.
“Jadi harapannya PLTB mereplikasi yang sudah ada di Pandansimo, karena terbukti berhasil,” kata dia.
Dengan kincir angin raksasa, kebutuhan energi yang lebih besar dapat terpenuhi. Kincir ini ditargetkan menghasilkan 50 juta watt listrik, lebih dari cukup untuk menyuplai pasokan listrik rumah tangga dan industri di DIY. Lebih dari itu, keberadaan kincir juga menjadi wahana edukasi.
“Ke depan, orang Indonesia yang mau belajar kincir tidak perlu lagi datang ke Belanda, cukup ke Bantul,” tutur Tri Saktiyana sembari tertawa.
Keberhasilan energi angin menjadi sumber energi listrik di pesisir selatan Bantul tak diragukan lagi oleh UPC Jogja Bayu, investor yang akan membangun PLTB di sepanjang pesisir selatan Bantul. Lokasinya membentang dari Pantai Samas di Kecamatan Sanden hingga Pantai Pandansimo di Kecamatan Srandakan.
Pesisir selatan Bantul memiliki potensi angin 5,5 meter per detik. Kecepatan angin itu dianggap ideal untuk menggerakan kincir angin.
“Kondisi angin di pantai selatan Jawa dan di selatan Indonesia timur bagus, berpotensi untuk menggunakan energi terbarukan seperti PLTB,” kata Niko Priyambada, Manajer Proyek PLTB wilayah Bantul dari UPC Jogja Bayu.
Rencananya, 25 tiang kincir dibangun, masing-masing kincir setinggi 80-180 meter. Pembangkit listrik tenaga angin ini digadang-gadang sebagai sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan emisi karbon. 50 juta watt energi yang dihasilkan PLTB diklaim mampu menghindari atau mengurangi karbon dioksida sebesar 106.000 ton yang biasanya dihasilkan oleh pembangkit listrik konvensional seperti batu bara.
Selain tidak mencemari energi, pembangunan kincir angin tidak memakan banyak tempat sehingga minim konflik pengadaan lahan, terutama lahan pertanian yang ada di pesisir.
“Tiang kincir memakan sedikit tempat, di bawah kincir masih bisa digunakan untuk bercocok tanam,” ujar Niko.