Kolom
Rabu, 6 Mei 2015 - 08:40 WIB

MIMBAR MAHASISWA : Seandainya Saya Presiden BEM UNS

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Hanputro Widyono (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar Mahasiswa kali ini, Selasa (5/5/2015), ditulis Hanputro Widyono. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret. Saat ini, penulis aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan.

Solopos.com, SOLO — Andai saya Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (BEM UNS), tentu saya merasa sakit hati dengan esai-esai yang dimuat sebulan terakhir dalam Mimbar Mahasiswa di Harian Solopos.

Advertisement

Banyak pendapat dalam beberapa esai tersebut yang terlalu memojokkan aksi demonstrasi yang diselenggarakan BEM. Ada memang tanggapan yang mencoba mendudukkan perkara demonstrasi itu pada tempatnya, yakni ”keharusan mahasiswa berpihak pada kepentingan rakyat”.

Dalam beberapa esai muncul pendapat ”menelanjangi” dan ”memerkosa” aktivitas demonstrasi yang diselenggarakan BEM. Nalar dan logika berpikir aktivis mahasiswa (=BEM) dihujat.

Yang cukup menyesakkan hati adalah tulisan kawan Udji Kayang Aditya Supriyanto (Solopos, 28/4/2015) yang menyarankan agar salah satu aktivis BEM melamar putri Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) agar beliau mau pulang ke Solo dan berdialog dengan BEM. Saran itu ”kelewat jahat”.

Advertisement

Andai saya Presiden BEM UNS, saya merasa harus menjawab kritik-kritik yang ditujukan kepada saya dan seluruh jajaran BEM. Seandainya saya sebagai Presiden BEM UNS, saya mempunyai banyak catatan, khususnya untuk kawan Udji.

Perihal aksi demonstrasi, perlu diingat kembali bahwa Mars Mahasiswa yang selalu dinyanyikan oleh para demonstran dan setiap mahasiswa baru, termasuk kawan Udji dulu saat jadi mahasiswa baru di UNS, merupakan ”Mars Demonstrasi”. Saya menuliskan teksnya di sini agar mudah diingat.

Kepada para mahasiswa / yang merindukan kemenangan / Kepada rakyat yang kebingungan / di persimpangan jalan / Kepada pewaris peradaban / yang telah menggoreskan / sebuah catatan kebanggaan / di lembar sejarah manusia / Wahai kalian yang rindu kemenangan / Wahai kalian yang turun ke jalan / Demi mempersembahkan jiwa dan raga / untuk negeri tercinta.

Tolong dicermati dan diresapi! Jelas sejelas-jelasnya dari teks itu bahwa lagu milik mahasiswa itu sepenuhnya bermuatan demonstrasi. Bukan hal lain. Permasalahan belajar, berdiskusi, indeks prestasi komulatif (IPK), dan aktivitas yang sering diributkan mahasiswa sekarang tidak disebutkan di sana.

Advertisement

Kami berdemonstrasi agar gambaran dan semangat mahasiswa yang terdapat di dalam syair-syair mars tersebut tetap relevan. Kalau ada yang tidak setuju, silakan ubah lirik lagu Mars Mahasiswa tersebut. Toh di Indonesia juga pernah ada kejadian pengubahan teks lagu.

Pada 2008 lirik terakhir Hymne Guru yang berbunyi Engkau patriot pahlawan bangsa / tanpa tanda jasa diganti menjadi Engkau patriot pahlawan bangsa / pembangun kaum cendekia.

Perubahan seperti itu merupakan suatu kewajaran. Kehidupan memang dinamis. Seperti halnya perubahan yang kami tuntut dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo alias Jokowi untuk kesejahteraan rakyat.

Satu bulan yang lalu, tepatnya Jumat (20/3/2015), kami (BEM UNS) mengadakan demonstrasi di bulevar UNS. Kami dikritik Hanputro Widyono (Mimbar Mahasiswa Solopos, 31/3/2015) agar melakukan demonstrasi di kantor-kantor pemerintah.

Advertisement

Sekarang ketika kami mau melakukan aksi menjemput Presiden Jokowi di Jakarta, di pusat pemerintahan, eh hla kok tetap mendapat kritik juga. Kami jadi serbasalah.

Perlu kawan-kawan ingat kembali, pada saat aksi demonstrasi lalu itu, kami menyatakan memberikan tenggang waktu selama satu bulan kepada Presiden Jokowi untuk memberesi semua permasalahan negeri ini.

Sampai awal Mei ini, yang artinya itu sudah lebih dari satu bulan, kami rasa Jokowi belum mampu memenuhi tuntutan tersebut. Oleh karena itulah kami akan tetap meneruskan aksi ini. Kami membuka Posko Relawan Penjemputan Pulang Jokowi, akan menyewa bus, dan akan berangkat ke Jakarta.

Kami memang harus mengeluarkan banyak biaya, mengorbankan tenaga dan pikiran, tetapi kami akan tetap menjemput Jokowi agar demonstrasi kami tidak dikatakan sebagai aksi ”jual omong”. ”Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata,” kata W.S. Rendra dalam sajaknya Paman Doblang. [Selanjutnya : Simbol Istilah]

Advertisement

 

Simbol Istilah
Dalam polemik yang lebih lanjut, saya menilai kawan Udji melakukan kesalahan jika menganggap ide penjemputan (dalam istilah Udji adalah ”memulangkan”) Jokowi ke Solo itu merupakan eufemisme dari upaya melengserkan presiden.

Kawan Udji juga keliru ketika menilai kami terjebak utopia pengulangan peristiwa pelengseran Presiden Soeharto pada Mei 1998. Mungkin kawan Udji lupa atau memang tidak tahu bahwa istilah ”penjemputan”—istilah yang juga digunakan untuk nama pos komando yang kami dirikan—itu tidak dipakai pada masa Orde Baru.

Pemerintahan Soeharto lebih suka menggunakan istilah ”penyelamatan”. Istilah ”pengantar” dan ”penjemput” lebih aktif digunakan pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno.

Pemaparan yang lebih lengkap tentang pemakaian dua istilah (”antar jemput” dan ”penyelamatan”) tersebut dapat ditemukan dalam buku karya Saya Sasaki Shiraishi yang berjudul Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (2009).

Dalam hal ini, kami merujuk pada istilah ”penjemputan” Soekarno-Hatta dalam peristiwa Rengasdengklok, 15 Agustus 1945, meskipun istilah itu juga identik dengan ”penculikan”.

Advertisement

Soekarno mengenang peristiwa itu: …aku mendengar suara dari balik semak-semak dan serombongan pemuda berseragam berjalan dengan diam-diam. Soekarni membawa sebilah pisau panjang dan pistol. Dengan lagak petualang sejati, dia mencabut pisaunya dan menghardik, ”Berpakaianlah, Bung…! Sudah tiba saatnya, … Sudah kami putuskan untuk membawa Bung ke tempat aman (dalam Shiraishi, 2009: 53).”

Soekarno yang menuruti permintaan para pemuda itu akhirnya berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Serta-merta keesokan harinya para pemuda dan seluruh rakyat Indonesia mengangkatnya menjadi Presiden Republik Indonesia.

Tentu itu adalah tindakan yang sangat berbeda dengan yang kawan Udji tuduhkan. Sekarang kami juga berharap hasil yang demikian dari aksi ini. Kami menjemput Jokowi adalah untuk mendorongnya meniti kejayaan Indonesia.

Kami menjemput Jokowi agar ia menjadi lebih cepat, tegas, dan bijak dalam mengambil setiap keputusan. Bukan malah hanya menjadi petugas partai. Jadi biarkan kami berkembang dan bergerak sesuai pikiran kami.

Apa yang orang lain anggap benar, belum tentu itu benar pula bagi kami. Begitu pula sebaliknya. Mungkin jalan kita berbeda, kawan Udji berbicara dalam kesunyian (baca: lewat tulisan) dan kami berbicara melalui pergerakan.

Satu lagi untuk mengakhiri tulisan ini, perlu kawan Udji ingat bahwa tanpa aksi-aksi yang kami lakukan, dua tulisan yang berjudul Tanpa Foto, Mereka Bisa Apa? (Solopos, 7/4/2015) dan Cukup Satu Strategi, Jokowi Pasti Pulang (Solopos, 28/4/2015) tidak akan masuk koran.  Tiba-tiba saya tersadar bahwa saya hanya berandai-andai menjadi Presiden BEM UNS…

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif