News
Minggu, 3 Mei 2015 - 13:00 WIB

IHSG ANJLOK : Kebijakan Jokowi Tak Konsisten, Biang Perlambatan Ekonomi

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Perahu melintas di perairan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. (Wahyu Darmawan/JIBI/Bisnis)

IHSG anjlok menjadi sinyal perlambatan ekonomi Indonesia. Inkonsistensi kebijakan pemerintah dinilai ikut berpengaruh.

JAKARTA — Perlambatan ekonomi merembet ke sektor riil. Depresiasi rupiah dan prospek pertumbuhan yang tak pasti menyeret performa yang sudah loyo sejak tahun lalu ke jalur negatif awal tahun ini. Hal ini disinyalir terpengaruh inkonsistensi kebijakan pemerintah.

Advertisement

Ketua Umum Apindo Hariyadi B. Sukamdani, mengungkapkan perlambatan ekonomi lebih tajam dari yang didesain Bank Indonesia dan pemerintah. Penyebabnya, konsep yang baik–kadang-kadang muluk–tidak diiringi konsistensi dan eksekusi tepat waktu.

Dia mencontohkan proyek Pelabuhan Cilamaya yang sudah dibahas sejak pemerintahan SBY justru batal dibangun di wilayah itu. Pemerintahan Joko Widodo malah menggeser lokasinya. Padahal, investor telanjur membuka pabrik di Bekasi, Karawang, dan Purwakarta, agar dekat dengan pelabuhan.

Advertisement

Dia mencontohkan proyek Pelabuhan Cilamaya yang sudah dibahas sejak pemerintahan SBY justru batal dibangun di wilayah itu. Pemerintahan Joko Widodo malah menggeser lokasinya. Padahal, investor telanjur membuka pabrik di Bekasi, Karawang, dan Purwakarta, agar dekat dengan pelabuhan.

Inkonsistensi lain yang menyebabkan penurunan sektor padat karya adalah ketidaksesuaian antara Inpres No 9/2013 yang mengatur penetapan upah minimum dengan praktik di lapangan.

“Intinya, [dalam peraturan itu] upah minimum ceiling-nya [batas atas] sebesar angka kebutuhan hidup layak. Tapi kenyataannya, begitu penentuan upah 2014, semua dilanggar,” ungkapnya.

Advertisement

Imbas Inkonsistensi

Imbas terhadap sektor riil tercermin pada kinerja laba emiten yang rontok kuartal I/2015 hingga memantik koreksi habis-habisan indeks harga saham gabungan (IHSG) sampai dengan 6,3% sepanjang pekan lalu.

Laporan sejumlah asosiasi pelaku usaha pun mengungkap penurunan di sektor masing-masing selama Januari-Maret dibanding setahun lalu. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) melaporkan penjualan mobil jeblok dengan penurunan 14%. Indonesia Property Watch (IPW) mengeluhkan penjualan properti yang anjlok 49%.

Advertisement

Berikutnya, koreksi penjualan semen 3,2% yang disampaikan oleh Asosiasi Semen Indonesia (ASI). Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menyebutkan penjualan makanan dan minuman hanya tumbuh 4-5%, melambat dari kebiasaannya yang tumbuh rata-rata 7% setiap kuartal I.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bahkan menyebutkan kinerja seluruh sektor riil turun pada tiga bulan pertama (lihat tabel). Bahkan, sektor makanan dan minuman yang biasanya kebal terhadap gejolak ekonomi, kali ini kena dampak dengan kontraksi 10%.

Penurunan performa sektor riil itu sekaligus mengonfirmasi perkiraan perlambatan konsumsi rumah tangga dengan laju di bawah 5%, pertama kali sejak kuartal II/2012. Perlambatan konsumsi rumah tangga berarti penurunan daya beli masyarakat.

Advertisement

“Kuartal I/2015 memprihatinkan, hampir di seluruh sektor. Saya belum mendapat laporan dari teman-teman di Apindo yang mencatat kondisinya positif,” kata Hariyadi B. Sukamdani.

Prediksi perlambatan konsumsi rumah tangga pada kuartal I/2015 dikemukakan oleh DBS Bank yang berbasis di Singapura. DBS melakukan riset setelah melihat data impor tiga bulan pertama yang jatuh dan penjualan otomotif yang buruk sejak akhir 2014.

“Daya beli tampaknya terbebani oleh perlemahan rupiah dan ketidakpastian yang melingkupi prospek pertumbuhan ke depan,” kata tim riset DBS yang dipimpin oleh Gundy Cahyadi.

Rupiah selama tahun berjalan (year to date) telah melemah sekitar 6% ke kisaran Rp13.000 per dolar AS, melanjutkan depresiasi 2% sepanjang tahun lalu.

DBS bahkan bertaruh, jika pertumbuhan konsumsi terjerumus ke bawah 4%, maka pertumbuhan produk domestik bruto 5% tak dapat lagi diharapkan. Target pertumbuhan 7% yang diidamkan pemerintah akan semakin jauh dari jangkauan.

“Pertumbuhan konsumsi yang ajek bukanlah penyulut bagi ekonomi. Kekecewaan terhadap pertumbuhan investasi, pada gilirannya menyerempet ke pertumbuhan konsumsi.”

Sementara itu, analisis lainnya menyebutkan terdapat korelasi antara penurunan daya beli dengan perlemahan harga komoditas. Imbas koreksi komoditas itu terutama diderita oleh masyarakat di luar Jawa yang merupakan sentra produksi komoditas pertambangan dan perkebunan.

Sekalipun perusahaan berbasis komoditas mengekang ekspansi untuk menekan kerugian lebih besar, pemutusan hubungan kerja dengan karyawan sulit dihindari. Akibatnya, permintaan turun dan berdampak terhadap konsumsi rumah tangga.

“Akhir commodity booming itu 2013. Dampaknya waktu itu tidak terlalu kelihatan. Tapi, sekarang sudah kelihatan ke sektor riil, ke demand,” kata ekonom PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk Agustinus Prasetyantoko.

Menurutnya, perlambatan tajam konsumsi rumah tangga menunjukkan energi pertumbuhan ekonomi tahun ini kian terbatas, setelah ekspor terkontraksi dan investasi masih belum pasti.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif