Kolom
Jumat, 1 Mei 2015 - 08:40 WIB

MIMBAR MAHASISWA : Cukup Satu Strategi, Jokowi Pasti Pulang

Redaksi Solopos  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Udji Kayang Aditya Supriyanto (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar Mahasiswa kali ini, Selasa (28/4/2015), ditulis Udji Kayang Aditya Supriyanto. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Sebelas Maret dan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan.

Solopos.com, SOLO — Polemik ihwal demonstrasi di Mimbar Mahasiswa di beberapa edisi Solopos masih riuh dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (BEM UNS) sedang mengeja aksi yang cukup ”serius”.

Advertisement

Mereka tak berdemonstrasi di bulevar UNS lagi, melainkan mendirikan Posko Relawan Penjemputan Pulang Jokowi. BEM UNS ingin sekali memulangkan Jokowi ke Solo. Melalui demonstrasi pada Maret lalu, mereka menyuarakan tuntutan agar Jokowi pulang.

Entah tuntutan itu didengar atau tidak, tak perlu dibicarakan lagi. Bagi mereka itu bukan masalah, asalkan bisa beraksi lewat demonstrasi itu sudah cukup. Posko Relawan Penjemputan Pulang Jokowi memang sengaja didirikan untuk merekut para mahasiswa sukarelawan yang akan berangkat ke Jakarta.

Target perekrutan mereka sekitar 1.000 mahasiswa. Mereka akan diberangkatkan ke Istana Negara menggunakan 20 unit bus. Momentumnya sengaja pada Mei. Barangkali ada utopia mengulang peristiwa Mei 1998. Entahlah. Yang jelas aksi ”serius” ini belum terlalu diperhatikan banyak orang.

Advertisement

Sejujurnya saya masih bingung dengan cara pikir aktivis BEM UNS: mengapa memilih cara itu? Mungkin saya tak secerdas mereka, tapi rasanya saya masih belum bisa melihat masa depan cerah dengan dilaksanakannya aksi tersebut.

Melangkah itu wajib namun penting juga mempertimbangkan cara melangkahnya. Diperlukan pertimbangan logis. Apakah sudah ada pertimbangan logis itu?

Posko Relawan Penjemputan Pulang Jokowi merupakan wujud kekecewaan BEM terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Selama enam bulan masa pemerintahan, Jokowi mereka nilai belum mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di negeri ini. Berbagai masalah membelenggu negeri, mulai dari pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM), harga kebutuhan pokok yang naik, hingga turunnya nilai tukar rupiah.

Advertisement

Argumentasi BEM cenderung menekankan diri pada segi ekonomis dan itu sah-sah saja. Bila dibenturkan dengan aksi yang akan mereka lakukan, sebetulnya ada paradoks.

Mereka menyadari situasi ekonomi sedang tak kondusif, tapi mengapa malah menyelenggarakan aksi yang membutuhkan sokongan dana dalam nilai besar?

Perlu berapa duit buat menyewa 20 unit bus sekaligus uang pembelian bahan bakar sampai Jakarta? Belum lagi duit buat makan selama di sana. Aduh!

Ide dasarnya, yakni penjemputan Jokowi, masih harus dipertanyakan. Sejauh pembacaan saya, menggulingkan pemerintahan tidak serta-merta jadi jalan keluar terbaik.

Advertisement

Mau memperbaiki atau cuma terobsesi mengalahkan orang nomor satu di negeri ini? Soekarno tumbang lalu Soeharto melenggang. Apakah keadaan Indonesia tatkala itu lantas membaik?

Inilah sebab kenapa saya masih bingung dengan agenda penjemputan Jokowi oleh BEM UNS yang kira-kira bila benar dilaksanakan bakal ingar-bingar itu.

Posko Relawan Penjemputan Pulang Jokowi dan agenda lanjutannya sesungguhnya bak mobil mewah (dan mahal) yang hendak dipakai melintasi jalan berlumpur dan berkabut tebal.

Sebuah acara yang megah butuh dana luar biasa dan tentu perlu konsep sejelas-jelasnya. Sayangnya acara tersebut diselenggarakan dalam ketidakjelasan.

Advertisement

Ide penjemputan Jokowi tidak didahului pertimbangan perlu tidaknya menyasar presiden yang baru sebentar menjabat itu. Seakan semuanya salah Jokowi dan akan selesai bila ia dilengserkan. Bagi saya ini lucu. [Baca selanjutnya: Gampang]

 

Gampang
Satu hal yang benar dalam agenda BEM tersebut ialah keinginan bersua langsung dengan Jokowi. Itu perlu, sangat perlu. Kalau hanya berdemonstrasi pasti tak akan didengar.

Barangkali tujuan awal ribuan mahasiswa UNS yang akan diberangkatkan ke Jakarta adalah bertemu dan berdialog dengan Jokowi. Itu dulu yang penting.

Di hadapan Jokowi, mereka bisa secara langsung menyampaikan tuntutan dan keberatan, termasuk menyampaikan ide memulangkan Jokowi ke Solo yang merupakan ekspresi eufemistis dari pelengseran presiden.

Urusan sukses tidaknya melengserkan, maksud saya memulangkan Jokowi, itu urusan belakangan. Bila tujuan awalnya memastikan Jokowi mendengar tuntutan mahasiswa, sebetulnya ada banyak cara yang lebih efisien.

Advertisement

Saya yakin aktivis BEM UNS belum ada yang mengenal sosok Jacques Ranciere. Penting, menurut saya, untuk mengutarakan pemikirannya di sini.

Menurut Ranciere, menulis petisi, berdemonstrasi, pada dasarnya adalah sebuah tindakan, tapi tindakan di bawah logika ”struktur penundaan” yang pada dasarnya tetap bersifat pasif.

Sekarang kita memerlukan tindakan di luar logika penundaan, di luar logika konvensional. Artinya, tak perlu melibatkan 1.000 mahasiswa UNS dan jauh-jauh ke Jakarta menjemput presiden kita.

Cukup satu orang untuk memastikan Jokowi pulang. Caranya, harus ada seorang lelaki—ya salah satu dari aktivis BEM itu—yang berani melamar Kahiyang Ayu, putri Presiden Jokowi.

Kalau aktivis mahasiswa memerhatikan gerak-gerik Jokowi selama ini, mestinya menyadari kepulangan Presiden Indonesia ini ke Solo sering kali karena urusan keluarga.

Ketika ada yang melamar Kahiyang, pasti Jokowi pulang. Setelah Jokowi sampai di Solo, jarak yang selama ini menghambat aktivis mahasiswa menyuarakan tuntutan hilang sudah.

Aktivis mahasiswa bisa langsung ”menyerbu” kampung Jokowi di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo. Untuk melakukan aksi radikal itu tentu tidak perlu diikuti 1.000 mahasiswa.

Ratusan mahasiswa sudah cukup untuk memaksa Jokowi menampakkan batang hidung sehingga dialog antara mahasiswa dan presiden bisa berlangsung.

Apakah saya bercanda? Jawabannya, iya dan tidak. Iya, karena saya tak betul-betul menyarankan pernikahan politis itu. Kasihan Kahiyang dong. Tidak, karena saya sedang mengutarakan contoh dari apa yang disebut Ranciere sebagai ”tindakan di luar logika penundaan”.

Mestinya para aktivis BEM selaku mahasiswa cum aktivis sekaligus civitas academica yang mendasarkan diri pada pengetahuan, logikanya tidak sesederhana itu. Itu terlalu grusa-grusu. Wahai aktivis mahasiswa, belajar logika sudah sampai mana?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif