Kolom
Kamis, 30 April 2015 - 07:40 WIB

GAGASAN : Paradoks Wakil Rakyat

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Thontowi Jauhari (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (25/4/2015), ditulis Thontowi Jauhari. Penulis adalah advokat dan dosen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Salah satu fungsi parlemen (DPR/DPRD) adalah mengawasi pelaksanaan anggaran negara yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),  anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), atau dari perusahaan  negara/perusahaan daerah.

Advertisement

Ironisnya banyak anggota DPR/DPRD (wakil rakyat) tidak melaksanakan fungsi pengawasan tersebut. Mereka justru terlibat dalam pelaksanaan anggaran dengan cara ”nyambi” sebagai rekanan pelaksana proyek.

Ketika keran demokratisasi dibuka selebar-lebarnya, anggota DPR/DPRD justru  terlibat melaksanakan proyek. Keterlibatan tersebut  menjangkiti seluruh partai politik. Menurut saya tidak satu partai politik pun yang bebas dari kader di parlemen yang bermental proyek ini.

Konflik antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan DPRD DKI Jakarta beberapa saat lalu adalah karena praktik permainan proyek oleh anggota DPRD DKI Jakarta yang  dibongkar Ahok.

Advertisement

Hasil penelusuran dalam pembahasan APBD 2015 di DPRD DKI Jakarta menghasilkan ”penghematan” Rp12 triliun. Dana senilai itu dialokasikan ”semau gue” oleh DPRD tanpa berdasar prioritas kebutuhan dan standar perhitungan harga.

DPRD DKI Jakarta menempatkan dana tersebut dengan cara ”menitipkan” anggaran di eksekutif dan  pelaksanaannya menjadi ”hak” anggota DPRD. Penelusuran anggaran pada saat pembahasan menemukan angka-angka penganggaran fantastis terkait pengadaan uninterruptible power supply (UPS) yang harganya jauh lebih mahal daripada harga di pasaran.

Praktik permainan proyek di  DPRD DKI Jakarta tersebut merupakan fenomena gunung es, yang tampak  sedikit namun yang tidak tampak luar biasa banyak dan terjadi di seluruh tingkatan parlemen, baik itu di DPR hingga seluruh DPRD provinsi atau kabupaten/kota di negeri ini.

Permainan  itu bisa dilakukan secara ”setengah  resmi” atau secara per orang yang sering disebut oknum.  Terkuaknya praktik demikian di DKI Jakarta semata-mata karena faktor Ahok. Terkuaknya praktik demikian di DPR, seperti permainan proyek oleh Nazaruddin dan kawan-kawan, karena faktor “ketahuan” oleh Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). [Menghapus Larangan]

Advertisement

 

Menghapus Larangan
Mengapa anggota DPR/DPRD leluasa bermain proyek? Tampaknya ada skenario melalui desain Undang-Undang (UU) tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Wakil rakyat  sengaja menghilangkan pasal larangan bagi mereka untuk melaksanakan proyek yang didanai APBN/APBD.

UU No. 4/1999 sebagai UU pertama di era reformasi yang mengatur tentang susunan dan kedudukan anggota parlemen secara tegas melarang anggota DPR/DPRD melaksanakan proyek. Pasal 42 ayat (1) UU tersebut menyatakan anggota DPR dan DPRD dilarang melakukan pekerjaan/usaha yang biayanya berasal dari APBN dan/atau APBD.

Ayat (2) menyatakan pelanggaran sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat dikenai sanksi sampai dengan diberhentikan sebagai anggota DPR/ DPRD. Pasal ini hilang saat pemberlakuan UU  No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Advertisement

Dalam bab tentang larangan hanya tertulis secara umum, tidak spesifik melarang anggota DPR/DPRD melaksanakan proyek. Pasal 104 ayat (3) menyatakan nggota MPR, DPR, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tidak boleh melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Hal yang sama juga terjadi dalam UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. UU ini hanya ketambahan larangan menerima gratifikasi. Dalam UU No. 17/2014 tentang  MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) tidak ada perubahan terkait dengan larangan itu.

Mestinya larangan melakukan pekerjaan yang dibiayai APBN/APBD wajib untuk dipertahankan untuk menjamin keterwakilan rakyat dalam melaksanakan tugas dan wewenang lembaga serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif.

Salah satu tugas dan kewenangan parlemen adalah mengawasi pelaksanaan APBN/APBD. Yang memprihatinkan dalam UU No. 17/2014 tersebut justru ada semacam ”peresmian atau legalisasi” melalui kebijakan hak setiap anggota DPR/DPRD atas alokasi anggaran daerah pemilihan.

Advertisement

Pasal 110 ayat (1) huruf e menyatakan badan anggaran bertugas menyinkronisasi usulan program pembangunan daerah pemilihan yang diusulkan komisi. Pasal tersebut tidak terdapat dalam UU MD3 sebelumnya.

Kalau dilihat pada Pasal 98 ayat (2) tentang tugas komisi dalam bidang anggaran, tidak ada yang secara khusus mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan. Tugasnya bersifat makro, yakni membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi dan program kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi.

Itu artinya ada agenda tersembunyi. Ketika komisi membahas dan menetapkan alokasi anggaran di kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi telah ada pembahasan dan bahkan keputusan tentang alokasi anggaran pembangunan di daerah pemilihan.

Daerah pemilihan menyangkut beberapa anggota DPR/DPRD yang mewakili daerah tersebut maka dapat disimpulkan usulan program pembangunan daerah pemilihan menjadi hak setiap anggota DPR/DPRD.

Tugas badan anggaran untuk menyinkronisasi usulan program pembangunan daerah pemilihan yang diusulkan komisi itu hanya semacam konfirmasi untuk memastikan ada anggaran untuk daerah pemilihan.

Badan anggaran juga dapat memastikan distribusi anggaran untuk masing-masing anggota DPR. Saya menyebut anggaran daerah pemilihan adalah semacam ”peresmian” permainan proyek anggota DPR/DPRD. Modusnya gampang.

Advertisement

Hak anggaran daerah pemilihan dinegosiasikan kepada kepala daerah atau kepada para penerima anggaran dengan catatan kesepakatan pelaksanakaan proyek tersebut bisa diarahkan sesuai dengan kehendak anggota DPR/DPRD. Tentu dengan kesepakaan fee yang telah dirancang secara rapi.

Sempurna sudah rusaknya budaya politik kita. Ketika era reformasi  memasuki usia 17 tahun, demokratisasi justru melahirkan ”anak haram”. Lahirlah generasi wakil rakyat bermental proyek. Sebuah generasi politik  aneh  hasil “perselingkuhan” pemburu rente ekonomi dengan penumpang gelap demokrasi. Inilah paradoks wakil rakyat kita. Wallahu a’lam.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif