Kolom
Kamis, 30 April 2015 - 06:40 WIB

GAGASAN : Melipatgandakan Ekspor Nonmigas

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok/JIBI)

Gagasan Solopos, Jumat (24/4/2015), ditulis Hartanto Reksodipoetro. Penulis adalah mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan dan Co-founder Trade Policy Forum.

Solopos.com, SOLO — Menteri Perdagangan Rachmat Gobel merencanakan ekspor Indonesia meningkat tiga kali lipat dalam lima tahun ke depan. Suatu target mulia yang amat dibutuhkan Indonesia setelah ekspor Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami keterpurukan.

Advertisement

Tentu yang dimaksudkan Menteri Rachmat adalah kenaikan ekspor dengan peran sektor industri manufaktur yang tinggi. Dalam kurun 10 tahun terakhir, kontribusi sektor industri pengolahan dan perdagangan (termasuk ekspor) dalam produk domestik bruto (PDB) ternyata memang menurun dan tren impor meningkat lebih cepat dibanding ekspor sehingga terjadi defisit perdagangan di beberapa tahun terakhir.

Pada 15 April 2015 Presiden Joko Widodo telah mengumpulkan para pengusaha dan menurut berita telah meminta masukan tentang bagaimana caranya meningkatkan ekspor.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) termutakhir menyatakan triwulan pertama 2015 menunjukkan surplus perdagangan luar negeri, tapi itu adalah karena terjadi penurunan ekspor yang lebih besar dibanding penurunan impor.

Advertisement

Meningkatkan ekspor bukan pekerjaan mudah karena pasar ekspor dipenuhi oleh industri-industri pemasok yang sangat efisien. Kalau kita ingin meningkatkan ekspor tiga kali lipat atau 400% dalam lima tahun maka diperlukan strategi ”canggih” untuk mencapainya.

Pertama, dan terpenting, kita harus memiliki produk yang diminta pasar dalam jumlah besar dan terus meningkat. Kedua, produk yang kita hasilkan harus memenuhi standar pasar tujuan. Ketiga, harga produk ekspor kita harus bersaing.

Daya saing industri ekspor Indonesia dewasa ini masih jauh daripada negara tetangga sesama anggota ASEAN. Daya saing Indonesia hanya menempati urutan ke-34, di bawah Malaysia dan Thailand yang menempati urutan ke-20 dan ke-31 (Global Competitiveness Index, 2014).

Pangsa pasar Indonesia di pasar global pada 2013 baru mencapai 1%, di bawah Malaysia dan Thailand yang memiliki pangsa 1,3% (Trademap, 2014). Produktivitas Indonesia pada 2010 adalah US$9.000 per pekerja, di bawah Malaysia (US$35.000), Thailand (USD15.300), dan Filipina (US$9.400) (Asian Productivity Organization, 2010).

Advertisement

Logistic Performance Index Indonesia pada 2014 menempati urutan ke-53, di bawah Malaysia (ke-25), Thailand (ke-35), dan Vietnam (ke-48) (World Bank, 2014).

Jadi kalau bicara meningkatkan penjualan atau ekspor kuncinya tentu adalah adanya barang yang dinginkan pasar. Setiap produk pasti punya pasar, tetapi kalau kita berharap ada peningkatan besar terhadap pendapatan dari ekspor maka yang harus jadi sasaran adalah produk ekspor yang permintaannya tinggi dan stabil.

Sekitar 72% dari total nilai impor dunia pada 2013 didominasi oleh 15 kelompok produk, lima di antaranya kuantitas dan kualitas impornya meningkat pesat dengan tren di atas 10% antara 2009–2013.

Indonesia memasok tujuh di antara 15 kelompok produk tersebut. Mengapa pangsa pasar Indonesia di pasar global baru mencapai 1%, di bawah Malaysia dan Thailand?

Advertisement

Di antara jawabannya adalah karena sisa delapan kelompok produk yang permintaan dunianya tinggi tidak termasuk dalam daftar produk ekspor utama Indonesia, atau termasuk kelompok produk utama impor dunia tapi bukan produk tertentu yang tren permintaannya tinggi.

Dari observasi sederhana ini saja sudah bisa diketahui kalau Indonesia ingin meningkatkan nilai ekspor tiga kali lipat maka langkah awal pemerintah harus memberikan prioritas pada menjawab kelemahan ini.

Indonesia harus mengembangkan industri yang permintaan dunianya tinggi. Ini strategi pertama dan utama. Adalah mustahil kita mencapai target peningkatan ekspor tiga kali lipat kalau mengandalkan produk ekspor Indonesia dewasa ini yang pertumbuhan permintaan dunianya rendah (atau statis).

Berarti dalam waktu lima tahun ke depan yang terpenting adalah menata kembali struktur industri ekspor Indonesia. Secara lebih khusus Indonesia harus mampu membalik komposisi produk ekspor Indonesia dari yang sekarang 63% terdiri dari produk primer (oil/gas, primary commodities, primary industry) dan 37% terdiri dari produk manufaktur (labour intensive and resource based dan manufactures with low, medium and high skill and technology intensity), menjadi lebih besar kelompok manufaktur dibanding kelompok primer.

Advertisement

Jadi kalau ada strategi pengembangan industri untuk ekspor maka yang harus dikedepankan investasinya adalah di sektor yang permintaan dunianya besar dan meningkat. [Efisiensi]

 

Efisiensi
Kalau sudah punya produk maka faktor kunci kedua adalah pasar dan pasar internasional itu oligopolistis. Dari sekian banyak produsen/eksportir di dunia hanya yang paling efisien yang bisa berlaga di pentas internasional.

Persaingan di pasar internasional jauh lebih sulit dibanding persaingan di dalam negeri. Mengembangkan daya saing produk ekspor terhadap barang sejenis di pasar internasional jauh lebih rumit dibanding untuk pasar dalam negeri.

Belum lagi kalau bicara soal peranan global value chain (GVC) dalam pemasaran internasional saat ini. Sejak lama kita mengetahui biaya ekonomi tinggi alias biaya siluman sangat menghambat pertumbuhan industri maupun pelaku ekspor.

Segala macam diskusi hanya menghasilkan kesimpulan diskursus. Semua lembaga pemerintah dan nonpemerintah, di pusat maupun daerah, merasa tidak punya andil dalam permasalahan ini sehingga tidak ada perubahan mendasar alias business as usual.

Advertisement

Banyak sekali yang bisa diangkat di sini untuk menunjukkan adanya biaya siluman, tetapi kelompok biaya yang patut diwaspadai dan bisa diatasi pemerintah adalah biaya perizinan. Permasalahan biaya siluman perizinan sudah diberitakan bertahun-tahun tetapi belum bisa terselesaikan.

Kurang jelas mengapa bisa demikian, tetapi Nawacita untuk mencapai berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) di bidang ekonomi tidak memberikan penekanan khusus terhadap pentingnya peningkatan ekspor nonmigas.

Untuk bisa menggerakkan mesin birokrasi di pusat maupun daerah, saat ini Presiden Joko Widodo harus mencanangkan perintah kepada Kementerian Perdagangan dalam bentuk instruksi presiden untuk berkoordinasi dengan kementerian terkait.

Kementerian terkait itu seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Keuangan untuk membuat road map yang diperlukan. Ini harus menjadi mandat yang tegas dan jelas kepada Menteri Perdagangan dan sifatnya imperatif.

Program menaikkan ekspor tiga kali lipat dalam lima tahun tidak mungkin tercapai melalui cara business as usual dan harus diakui bahwa koordinasi adalah barang langka di Indonesia. Sumber daya manusia menjadi masalah utama.

Harus ada ketegasan pemimpin tertinggi pemerintah tentang bagaimana koordinasi harus dilaksanakan, baik di tingkat pemerintah (pusat dan daerah) maupun antara pemerintah dan pelaku ekonomi.

Langkah ini kemudian dikunci dengan sistim monitoring berkala yang efektif tentang pencapaian target dari waktu ke waktu. Tidak bisa ditawar lagi, diperlukan sebuah organisasi lintas pemerintah dan pelaku usaha yang secara super serius menangani pembangunan industri dan pemasarannya ke luar negeri secara terpadu.

Sekadar komitmen pejabat luar negeri di kedutaan besar Indonesia di luar negeri untuk berjuang meningkatkan ekspor nonmigas di kawasan masing-masing amat jauh dari yang dibutuhkan.

Selain itu, kalau upaya pencapaian target hanya digantungkan kepada struktur industri yang sudah ada maka jaminannya adalah kegagalan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif