Kolom
Selasa, 28 April 2015 - 06:40 WIB

KOLOM : Libatkan Publik dalam Kebijakan!

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom hari ini, Senin (27/4/2015), ditulis wartawan Solopos Mulyanto Utomo.

Solopos.com, SOLO — Ini bukan keluh kesah. Menurut Raden Mas Suloyo, apa yang dia sampaikan adalah telaah kritis tentang keputusan pemerintah daerah mengenai sebuah kebijakan.

Advertisement

”Ini bukan keluhan. Saya hanya sebel. Banyak kebijakan yang mestinya bijak hasilnya malah menyengsarakan rakyat,” kata Denmas Suloyo saat jagongan di warung hik News Café di kampung saya.

”Kosik-kosik…, Denmas. Ini mau ngudarasa soal apa?” sahut Mas Wartonegoro, kawan diskusinya yang paling asyik itu.

”Ini soal kebijakan. Ya banyak… Contohnya, pembangunan under pass Makamhaji yang malah bikin ’panas’ itu. Atau, mulai Senin besok [hari ini], Jl. Prof. R. Soeharso dari perempatan depan Perumahan Fajar Indah ke selatan menjadi satu arah itu,” jawab Denmas Suloyo cepat.

Advertisement

”Hla, yang sampean maksud menyebalkan itu yang bagaimana? Itu kan memang sudah menjadi ranah pemerintah daerah untuk memutuskan sebuah kebijakan. Mau membangun under pass kek, mau membuat jalur searah kek, mau membubarkan institusi kek… itu kan urusan mereka,” timpal Mas Wartongoro memancing suasana.

”Weee hla…ndhak bisa begitu. Itu namanya manut sak karepe dhewe, egois, otoriter! Segala sesuatu itu diatur dengan undang-undang dan peraturan. Ini negara hukum, Mas. Pemerintah tidak bisa menjalankan kebijakan sesuka hati, harus memikirkan kepentingan publik… apalagi kalau berprinsip sing penting bathi, ndhak bisa begitu,” kata Denmas Suloyo.

”Terus kalau sampean sebel begitu, njur apa kebijakan itu bisa berubah? Ketetapan pemerintah dibatalkan? Apa terus keputusan pemerintah daerah akan diganti? Salah-salah sampean nanti malah di-bully;…sana kalau nggak mau manut pemerintah bikin negara sendiri atau pindah saja dari planet Bumi, hahaha…,” kata Mas Wartonegoro sembari tertawa lebar.

”Namanya juga ngudarasa, Mas. Tadi kan saya bilang, ini hanya menyampaikan telaah kritis, siapa tahu didengarkan para priyagung yang membuat kebijakan itu. Saya hanya ingin menyampaikan, hambok ya kalau bikin kebijakan itu yang transparan… mendengarkan masukan dari masyarakat, kalau perlu libatkan publik agar keputusan mereka atas sebuah kebijakan itu tidak justru menyengsarakan masyarakat,” kata Denmas Suloyo panjang lebar.

Advertisement

Begitulah, diskusi dua sahabat saya di warung hik itu kian gayeng. Terkadang disertai asumsi dan prasangka-prasangka negatif tentang lahirnya sebuah kebijakan itu.

”Saya malah mempunyai pikiran buruk, jangan-jangan kebijakan yang diterapkan itu berdasar UUD, bukan undang-undang dasar tapi ujung-ujungnya duit… hahaha…,” kelakar Mas Wartonegoro yang disambut gelak tawa peserta jagongan.

Menurut saya tidak ada yang salah dalam dialog antarwarga membahas kebijakan pemerintah daerah yang mereka anggap tidak bijak itu, apalagi jika kebijakan itu justru merugikan publik, bahkan menyengsarakan masyarakat.

Era keterbukaan menjadikan masyarakat berhak kritis. Asalkan apa yang mereka sampaikan masuk akal, sesuai logika, dan bisa diterima nalar maka pemerintah daerah hendaknya merespons setiap kritik dengan bijak.

Advertisement

Di dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 139 ayat (1) hanya disebutkan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah.

Jika kemudian pemerintah daerah menjawab bahwa sudah ada musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) mulai tingkat kelurahan, kecamatan, hingga kota, itu jelas tidak cukup!

Menurut dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) almarhum Prof. Dr. Totok Sarsito dalam salah satu tulisannya yang pernah dimuat koran ini, musrenbang itu hanya menyangkut perencanaan pembangunan.

Peserta musrenbang tidak dilibatkan dalam proses penyusunan anggaran. Idealnya publik dilibatkan pula dalam perencanaan pembangunan termasuk penyusunan anggaran (participatory planning and budgeting).

Advertisement

Sering terjadi perencanaan pembangunan yang telah disepakati di tingkat kelurahan, kecamatan, hingga kota tidak bisa direalisasikan karena dalam penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) peserta musrenbang sama sekali tidak dilibatkan. Banyak program pembangunan yang telah disepakati tidak masuk dalam RAPBD. [Prinsip Tata Pemerintahan]

 

Prinsip Tata Pemerintahan
Para pemangku pemerintah daerah juga perlu mengingat bahwa di Pasal 27 UU No. 32/2004 yaitu Pasal 27 ayat (1) dinyatakan  secara tegas dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance).

Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik yaitu pemerintah daerah yang akuntabel, efisien dan efektif, partisipatif, berwawasan ke depan, transparan, profesional, menegakkan hukum, memiliki daya tanggap yang tinggi, setara, dan melakukan pengawasan.

Mengacu UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah tersebut, jelas bahwa meskipun secara eksplisit tidak disebut namun pemerintah daerah (dalam hal ini kepala daerah beserta jajarannya) berkewajiban selalu melibatkan masyarakat atau publik dalam mengambil keputusan-keputusan penting.

Muncul pertanyaan: masyarakat yang mana? Apakah penduduk sekota atau sekabupaten harus ikut serta dalam participatory planning and budgeting? Tentu saja tidak. Totok Sarsito mengutip Victor Gerardo Bulato, seorang konsultan senior dalam buku berjudul Balangay: An Introduction Course on Barangay Governance,  menyebut salah satu konsep masyarakat/publik atau society adalah quadripolar of society and state.

Advertisement

Makna quadripolar of society and state adalah  society dan state lebih dilihat dari fungsinya. Masyarakat dalam hal ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu civil society, corporate sectors, dan political parties. Ketiga bagian masyarakat ini berinteraksi satu dengan yang lain, termasuk juga dengan negara (state).

Civil society dalam pengertian ini adalah kekuatan dalam masyarakat yang terorganisasi, seperti organisasi masyarakat yang antara lain bisa berupa serikat-serikat buruh, kelompok tani, lembaga swadaya masyarakat, paguyuban rumah tangga, atau bahkan sekadar paguyuban pencinta ketertiban berlalu lintas, misalnya.

Civil society organization seperti inilah yang sering membentuk unit-unit public affairs untuk melakukan analisis kebijakan pemerintah dan berhadapan dengan pejabat-pejabat pemerintah atau partai politik.

Artinya pelibatan publik dalam setiap kebijakan menjadi sangat penting, termasuk misalnya ”sekadar” kebijakan mengubah jalur dua arah menjadi searah. Pemerintah dituntut transparan, menunjukkan data riil dan otentik tentang alasan kebijakan mengubah jalur lalu lintas dua arah menjadi searah.

Mengapa harus “ribet” seperti itu? Karena sejatinya negara ini milik rakyat. Sistem kekuasaan yang otoriter, egois, personal, dan sakral, enggan melibatkan publik sebagai bagian terpenting dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan akan menimbulkan krisis berkepanjangan, anarkisme, ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah, dan akhirnya akan meruntuhkan pemerintah itu sendiri.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif