Kolom
Selasa, 28 April 2015 - 07:40 WIB

GAGASAN : Pembuatan Sejarah, Nostalgia, Kritik

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (23/4/2015), ditulis Bandung Mawardi. Penulis adalah pengelola Jagat Abjad Solo.

Solopos.com, SOLO — Soekarno adalah manusia ambisius untuk membuat sejarah. Predikat sebagai presiden semakin mengesahkan kemauan membuat sejarah berdalih kemuliaan Indonesia.

Advertisement

Sejarah tak selalu bermula dari perencanaan matang. Pembuatan sejarah kadang terkesan tergesa-gesa atau mendadak sesuai kesanggupan mewujudkan ide. Sejak muda, Soekarno lihai dan sadar risiko dalam pembuatan sejarah.

Sekarang kita mengenang sejarah itu dalam peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika. Acara peringatan ini berpusat di Bandung dan Jakarta, 19-14 April 2015.

Kapan Soekarno mulai menata ide dan membuktikan kompetensi membuat sejarah? Pada 1928, Soekarno sudan memikirkan masa depan Indonesia dan Asia.

Advertisement

Soekarno menulis: Kita kaum pergerakan nasional Indonesia, kita bukan saja merasa menjadi abdi atau hamba dari negeri tumpah darah kita, tetapi kita juga merasa menjadi abdi dan hamba Asia, abdi dan hamba bagi semua kaum yang sengsara, abdi dan hamba bagi dunia.

Pola perulangan ide ini menguatkan kemafhuman Soekarno atas kolonialisme imperialisme di Asia. Penguasaan Asia oleh negara-negara asing memicu kesadaran politik kawasan. Di Indonesia, Soekarno membesarkan nasionalisme dibarengi penjelasan-penjelasan mengenai nasib Asia.

Soekarno berseru: …nasib kita ialah buat sebagian bersandar pada pekerjaan bersama antara kita dengan bangsa-bangsa Asia yang lain, pekerjaan bersama antara kita dengan bangsa-bangsa yang menghadapi satu musuh dengan kita, pekerjaan bersama dengan semua kekuatan-kekutan di luar batas negeri kita yang melawan dan melemahkan musuh-musuh kita.

Kesadaran itu berlanjut pada masa 1940-an dan 1950-an. Soekarno tampil sebagai tokoh karismatik di mata dunia. Kunjungan ke pelbagai negara membuktikan Asia dan Afrika mesti bebas dari kolonialisme dan imperialisme.

Advertisement

Perdamaian dunia harus diciptakan bermula dari ide tanpa perang. Kemunculan negara-negara merdeka di Asia dan Afrika setelah Perang Dunia II berakhir mengantar Soekarno bergairah membuat sejarah-sejarah besar.

Soekarno dan jajaran pemerintah Indonesia mengundang para pemimpin di Asia dan Afrika untuk berkonferensi di Bandung. Undangan digenapi usaha membesarkan ide-ide perdamaian dunia dan perlawanan atas taktik baru kolonialisme dan imperialisme.

Seruan Soekarno mendapat sambut dari Jawaharlal Nehru, Gamal Abdel Nasser, U Nu, dan para pemimpin Asia dan Afrika. Konferensi akbar digelar pada 18-24 April 1955. Sejarah itu tak gampang diadakan secara kolosal.

Situasi tergesa-gesa dan mendadak tampak dari kebijakan-kebijakan Soekarno menjelang pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika (KAA). Semula, tempat konferensi bernama Concordia. Nama diubah menjadi Gedung Merdeka.

Advertisement

Acara-acara juga diadakan di Gedung Dwiwarna. Semula, gedung itu bernama Gedung Pensiun. Nama jalan di depan Gedung Merdeka turut berubah.

Soekarno mengubah nama Jl. Raja Kramat menjadi Jl. Asia-Afrika. Dulu, jalan itu pernah memiliki nama Groote Postweg. Soekarno melakukan pelbagai perubahan nama sehari menjelang pelaksanaan konferensi (Her Suganda, 2011). [Selanjutnya: Belum Selesai]

 

Belum Selesai
KAA menghasilkan Dasasila Bandung. Dunia membuka mata bagi kekuatan Asia dan Afrika. Tahun demi tahun berlalu, suara pembebasan dan perdamaian dunia terus berlanjut.

Advertisement

Pada 1965, pemerintah mengadakan peringatan 30 tahun untuk mengenang KAA. Pemerintah disokong pelbagai institusi dan publik dalam membesarkan suara Asia dan Afrika.

Penerbitan buku Dasawarsa KAA-I (1965) oleh Komando Pelaksana Peringatan Dasawarsa KAA-I memuat halaman-halaman berisi dokumentasi sejarah dan propaganda politik. Soekarno merasa belum selesai dalam membuat sejarah.

Ungkapan-ungkapan propaganda memeriahkan pertemuan para pemimpin Asia-Afrika, “Galang persatuan hancurkan penindasan dan musnahkan penghisapan”, ”Bersatu maju membangun dunia baru”, ”Menyusun persahabatan yang bebas merdeka, adil, makmur, sejahtera.”

Peringatan ini berbarengan situasi politik panas di Indonesia menjelang keberakhiran rezim Orde Lama. Soekarno masih sempat menggerakkan sejarah secara kolosal dan fantastis.

Pada masa Orde Baru, ambisi menjadikan Indonesia sebagai pusat sejarah Asia dan Afrika dilanjutkan oleh Soeharto. Pada 1980, peringatan ke-25 diadakan dengan persiapan mendadak. Agenda nostalgia politis membutuhkan ongkos besar.

Imajinasi sejarah juga harus memusat ke bukti-bukti sejarah. Panitia bekerja keras untuk mengecat ulang Gedung Merdeka. Benda-benda peninggalan KAA 1955 harus dicari dan dipamerkan. Panitia berhasil mengumpulkan 440 kursi, 50 meja, mimbar pidato.

Advertisement

Dokumen, naskah pidato, dan foto juga turut ditampilkan dalam pameran (Tempo, 1 Maret 1980). Soeharto berperan sebagai pemilik hajatan atau tuan rumah, melanjutkan alur sejarah dengan kecenderungan berambisi menjadi pemimpin besar di Asia dan Afrika. Ambisi itu tak bisa melampaui pengaruh dan kemonceran Soekarno.

Dunia terlalu cepat berubah. Pertumbuhan ekonomi dan situasi politik di pelbagai negara di Asia dan Afrika juga berubah. Indonesia sedang menjalankan pembangunan, berharap menjadi negara besar alias tak melulu dicap negara berkembang.

Indonesia ingin terus jadi pusat sejarah. Peringatan berkelas internasional diadakan pada 1985, berongkos besar dan bermisi mulia. Nostalgia diwujudkan melalui ajakan agar para tamu berjalan dari Hotel Savoy Homman menuju Gedung Merdeka.

Mereka disambut 500 pelajar melantunkan lagu berjudul Bangsa Asia-Afrika gubahan N. Simanulangkit. Selebrasi itu diadakan bertujuan memunculkan sikap atas pelbagai perubahan di dunia (Tempo, 27 April 1985).

Indonesia tetap menjadi pengekal sejarah. Indonesia tetap menjadi “miniatur Asia dan Afrika” seperti anggapan Soekarno. Sekarang, sejarah itu terus diingat dengan selebrasi meriah di Bandung dan Jakarta.

Presiden Joko Widodo menjadi penerus dari misi membuat sejarah sejak 1955. Kita mulai ragu peristiwa kolosal itu demi nostalgia atau pemunculan suara kritis untuk bersikap atas pelbagai konflik di dunia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif