Kolom
Jumat, 17 April 2015 - 06:40 WIB

GAGASAN: Guru Kebudayaan dan Manusia Jawa

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M. Fauzi Sukri (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan kali ini ditulis M. Fauzi Sukri. Penulis adalah peminat filsafat pendidikan.

Solopos.com, SOLO — Lembaga pendidikan dalam banyak kasus bukanlah terutama hanya mengajarkan ilmu atau melatih keterampilan namun yang paling utama dan sering tanpa kita sadari adalah sebagai institusi pembentuk identitas kebudayaan seseorang.

Advertisement

Sampai saat ini tak ada suatu lembaga penanam identitas yang kuat dan ampuh selain lembaga pendidikan. Puncaknya adalah pengembangan, penghidupan, dan pemberian otoritas kebudayaan di perguruan tinggi.

Sebagai contoh, kebudayaan Eropa berkembang dan dikembangkan di perguruan tinggi dan orang-orang yang mengajar dan belajar di perguruan tinggi ini merasa mereka sedang menjadi bagian dari kebudayaan Eropa, apa pun bidang yang sedang mereka dalami, baik filsafat, humaniora, ekonomi, atau teologi.

Seorang santri yang belajar di pondok pesantren, apalagi jika kemudian tidak melanjutkan ke lembaga kebudayaan yang lain, bakal merasa dirinya sebagai seorang muslim yang utuh dan merasa sebagai bagian dari penggerak kebudayaan Islam.

Dengan logika yang analogis, lembaga pendidikan apakah yang memungkinkan manusia yang lahir di Jawa bisa menjadi orang Jawa karena memang sudah dididik secara Jawa, untuk pengembangan kebudayaan Jawa, dan untuk mendapatkan otoritas sebagai manusia yang paham kebudayaan Jawa?

Ini adalah pertanyaan yang merisaukan para cendekiawan Jawa, setidaknya sejak awal abad XX, saat mereka menyaksikan keberhasilan lembaga pendidikan Eropa membentuk manusia baru yang bukan manusia Jawa tentu saja.

Pada 1852 didirikan Sekolah Guru (Kweelschool) bercorak kebudayaan Eropa di Solo. Ini lembaga pendidikan dan kebudayaan yang pertama di seluruh tanah Jawa. Sekolah ini menjadi pemasok guru kebudayaan baru. Tampaknya tidak banyak resistensi terhadap kehadiran pemasok kebudayaan ini ini.

Kesadaran pentingnya lembaga pendidikan sebagai puncak lembaga (identitas!) kebudayaan diperdebatkan dengan keras pada 1918 dalam Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling (Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa) di Solo. Dalam kongres ini, Soetatmo Soerjokoesoemo mengajukan dan hendak membangkitkan kembali pandhita sebagai guru kebudayaan Jawa.

Advertisement

Tentu saja puncak keberhasilan ini adalah Ki Hadjar Dewantara, tapi perlahan Taman Siswa mengecil dan tenggelam saat Indonesia merdeka dan lahirlah di mana-mana sekolah-sekolah modern atas prakarsa negara bangsa Indonesia dengan kehendak membangun kebudayaan (nasional) Indonesia.

Sekarang, setelah hampir satu abad, pertanyaannya masih sama: lembaga pendidikan tertinggi manakah yang bisa menghasilkan manusia Jawa? Dan terutama, siapa yang menjadi guru kebudayaan Jawa?

Ini bukan masalah hilang atau bergantinya sistem kekuasaan politik sebagai pusat pemangku identitas dari kerajaan (Mataram atau yang lainnya) ke negara modern (Indonesia). Ini adalah masalah sederhana: sistem reproduksi biologis kebudayaan Jawa dan guru hiduplah yang bisa melanjutkan sistem (re)produksi kebudayaan ini.

Dengan kata lain, kita tidak sedang berbicara wong Jawa ilang Jawane. Wong Jawa banyak dan hal-hal yang bersifat njawani juga masih ada. Yang lebih tepat adalah wong Jawa ilang guru kabudayane.

Secara umum guru kebudayaan itu bisa dibagi dua: yang bersifat simbolis (teks) dan yang bersifat materialis, khususnya berwujud manusia dengan jiwa, daging, dan tulangnya. Tiap kebudayaan hampir pasti memiliki dua guru kebudayaan ini.

Jika timpang, daya hidup kebudayaan bakal pincang dan terancam punah atau selalu berada dalam krisis pencarian identitas yang tak berkesudahan. Agama-agama yang hidup, meski bisa jadi hanya sedikit umatnya, biasanya terhindar dari krisis yang diakibatkan kelangkaan guru tekstual dan guru manusia.

Salah satu kebudayaan yang guru besarnya bersifat simbolisme yang begitu kuat adalah kebudayaan Jawa. Secara umum, guru besar kebudayaan Jawa adalah tokoh Semar. Dalam guru kebudayaan yang bersifat simbolis, keguruan kepengajaran kebudayaan dan nasib kebudayaan itu sendiri masih bersifat potensial.

Advertisement

Ini memang ada berupa teks pengajaran, tapi itu hanya kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja hanya utopis ilusionis. Setidaknya, kemungkinan terbesarnya adalah sebentuk pendakuan dan identifikasi diri bahwa seseorang adalah pengagum Semar yang melakoni kehidupan sejalan dengan filsafat hidup kesemaran dalam karakteristik tokoh Semar.

Ini hanya bersifat guru tekstual yang biasanya berada di luar institusi kebudayaan yang hidup dan dihidupi atau diragawikan dalam keseharian masyarakat penganut kebudayaan tersebut.

Dalam sistem kebudayaan yang masih hidup, guru-guru kebudayaan biasanya bersifat konkret manusia, dengan segala ilmu kebudayaannya, baik yang bersifat humaniora, teologis, atau saintis. Dalam tiap bidang ilmu selalu harus ada dan berkuasa seorang guru besar sebagai pemangku kebudayaan berdasarkan otoritas keilmuan kepengajaran.

Dari guru yang hidup (living saga) inilah, seorang pembelajar bisa melihat, meniru, merasakan, mengonstruksi, memodifikasi, atau bahkan memberontak dalam mengembangkan dan menghidupkan serta menghidupi kebudayaan dalam pengertian-pengertian pendidikan-pengajaran.

Dalam kebudayaan Jawa, kita jarang sekali mempersoalkan guru kebudayaannya. Ini semakin buram karena tidak ditunjang sistem (dokumentasi) sejarah pendidikan kebudayaan yang kuat.

Sampai saat ini, kita jarang sekali mendapatkan sejarawan yang menulis sejarah pendidikan kebudayaan Jawa dari zaman klasik, baik yang ada dalam dokumen pedagogis serat-serat piwulang atau yang hidup historis dalam kehidupan sosial (kebudayaan) masyarakat Jawa.

Fokus kajiannya masih (secara keterlaluan) membahas kekuasaan politik dan kalau pendidikan disinggung masih tetap dalam kuasa penguasa politik. Wong Jawa sampai sekarang tidak banyak mengembangkan pemikiran tentang keguruan kebudayaan Jawa.

Advertisement

Kita hanya berhenti pada pertanyaan-pertanyaan tentang keampuhan empu atau maestro budaya versus profesor akademis di perguruan  tinggi yang banyak menghasilkan kemajuan keguruan kebudayaan Jawa.

Pujangga
Setidaknya dalam buku Sedjarah Pendidikan Indonesia Sutedja Bradjanagara (1956) dengan sadar dan tepat menyebut pujangga keraton Jawa sebagai ”cultuur paedagoog” (pendidik kesusilaan).

Mereka antara lain, yakni Yasadipura II yang menulis Serat Sanasuno, Paku Buwono IV yang menulis Serat Wulang Reh, Mangkunagoro IV yang menulis Wedhatama, Tripama, dan Wirawijata, dan termasuk Ranggawarsita yang menulis Pustaka Raja Purwa, Sabda Jati, Sabda Tama.

Penyebutan pendidik (guru) kesusilaan ini masih dan seharusnya diperdebatkan dengan keras. Satu kebudayaan tidak mungkin hanya mengajarkan moral untuk melangsungkan kehidupannya.

Di sini kita bisa mengajukan delapan syarat untuk seseorang menjadi guru sebagaimana disebutkan Ranggawarsita dalam Serat Wirid Hidayat Jati. Seorang guru harus memiliki paramasastra (kepandaian tata bahasa), paramakawi (pandai bahasa Kawi [sastra]), mardibasa (cerdas mengolah kata-kata), mardawalagu (mampu memperindah irama lagu/bernyanyi/bermain musik), awicarita (kaya cerita), mandraguna (kaya kepandaian), nawungkridha (tajam penglihatan batinnya), dan sambegana (kuat ingatannya) [Simuh, 1988: 231-2].

Keahlian seorang guru ini biasanya dikuasai semua pujangga yang memang secara umum menjadi guru kebudayaan. Titik tekannya adalah keahlian bahasa sebagai pusat asal kebudayaan. Ranggawarsita juga menyebutkan delapan pedoman moral guru dan delapan sifat utama seorang guru dalam Serat Wirid Hidayat Jati.

Secara umum, semua yang disebutkan Ranggawarsita ini jauh melampaui kriteria sertifikasi guru yang dipakai pemerintah Indonesia. Hal ini lumrah mengingat yang diperlukan adalah mengajar dan menghidupkan kebudayaan.

Advertisement

Kriteria guru kebudayaan berdasarkan pemikiran Ranggawarsita ini tampaknya semakin sangat susah sekali dipenuhi, bahkan oleh seseorang yang berstatus guru besar di institusi pendidikan modern. Ini mencemaskan.

Di dunia ini banyak kebudayaan yang berakhir di dunia teks, tak hidup lagi dalam tata sosial masyarakat. Permasalahannya sederhana saja: tak ada guru kebudayaan yang hidup dan tak ada murid yang mempelajari dan menghidupinya atau guru dan murid yang hidup dan menghidupi kebudayaan itu.

Tentu saja perspektif pengembangan dan penghidupan kebudayaan berbasis guru kebudayaan ini hanya melihat gerak kebudayaan dari pelaku kebudayaan itu. Ini mengabaikan sifat gerak kebudayaan yang biasanya bersifat global dan saling memengaruhi antarkebudayaan.

Jarang sekali atau bahkan sekarang hampir tidak ada satu kebudayaan yang mendekam dalam diri manusia yang tak tercampur aneka kebudayaan—kecuali satu teks buku klasik, barangkali, bukan manusia bernyawa tentu saja.

Tiap kali satu rencana kebudayaan dibuat itulah saat harus diingat bahwa setiap manusia atau kelompok kebudayaan juga bergerak dan membuat kebudayaan-kebudayaan yang bakal saling memengaruhi dan adu kuat dan kuasa.

Tatkala para penggerak kebudayaan merencanakan aksi politik kebudayaan, orang-orang yang barangkali tidak pernah diperhitungkan yang berada di gedung-gedung megah di New York, Hong Kong, atau di Jakarta, atau di belahan dunia lainnya, termasuk di daerah kumuh dan terpinggirkan, juga sedang merencanakan aksi kebudayaan yang sangat mungkin bakal memengaruhi hidup kita di sini dan di belahan dunia lainnya.

Ini juga yang terjadi dengan kebudayaan Jawa sepanjang sejarahnya, betapa pun Jawa diidealisasi sebagai kebudayaan sinkretis tangguh dengan kesadaran untuk terus mempertahankan diri dan mengolah kebudayaan yang menghampirinya.

Advertisement

Untuk itu, jika hendak berhasil, strategi kebudayaan seharusnya bersifat global. Tentu saja ini tidak bisa dilakukan oleh kekuasaan politik kebudayaan mana pun dan tentu saja tidak dikehendaki oleh penggerak kebudayaan yang bersifat lokal.

Dilema yang dihadapi perencana kebudayaan adalah dia bukanlah perencana tunggal di dunia ini, termasuk di daerah kekuasaannya. Pilihan alternatifnya bersifat teoritis belaka, mengisolasi diri dengan gagasan pemurnian kebudayaan, dengan risiko mengerut dan mengerdil.

Ini tentu bukan alternatif. Kebudayaan Jawa tak pernah melakukan hal ini. Kebudayaan Jawa saat ini hampir mendekati status kebudayaan indie di kalangan generasu muda. Semangat indie dalam berkebudayaan, seperti dilakukan kaum muda, biasanya dilakoni dengan militan, sebagai perjuangan hidup dan mati yang tidak bisa ditawar-tawar.

Masalahnya, jika kebudyaan indie masih punya peluang untuk menjadi kebudayaan yang dominan, saat publik merangkul dan ramai-ramai memujanya dan menjadi konsumsi budaya massal, kebudayaan Jawa tampaknya terlalu susah untuk masuk atau distrategikan secara kultural sebagai kebudayaan indie.

Barangkali para pengagum kebudayaan Jawa yang sudah tua, dengan sifat nostalgianya, bakal sedikit banyak tidak terima jika kebudayaan Jawa dijadikan atau disamakan dengan kebudayaan indie, seperti dalam musik, film, atau pakaian.

Kebudayaan Jawa dan orang-orang Jawa masih banyak, bahkan menjadi mayoritas dan dominan di Indonesia. Bukankah kebudayaan Jawa yang selalu disuasanakan prihatin membutuhkan begitu banyak kamu muda sebagai penggerak yang bersemangat indie? Mungkin tidak.

Kita mungkin perlu ingat apa pun yang terjadi dengan kebudayaan Jawa, kita tidak mungkin membangunkan tubuh Ranggawarsita untuk terus menggerakkan kebudayaan. Yang hiduplah yang mampu menggerakkan kebudayaan.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif