Kolom
Rabu, 15 April 2015 - 06:50 WIB

GAGASAN : Tren Kembali ke Kearifan Lokal

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Flo. K. Sapto W (Istimewa)

Gagasan kali ini ditulis Flo. K. Sapto W. Penulis adalah Praktisi pemasaran dan pengkaji kebudayaan.

Solopos.com, SOLO — Esai Ichwan Prasetyo di Solopos edisi Senin (16 Maret 2015) berjudul Ide tentang Manusia sangat menarik. Gagasan tentang manusia sempurna—seturut pemahaman Ki Ageng Suryomentaram—dijadikan dasar pemikiran bagi spirit pencarian pemimpin yang baik.

Advertisement

Upaya itu senantiasa harus selalu dilakukan. Terkait dengan hal itu, pendekatan terhadap gagasan Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan demikian juga menjadi semakin menarik, terutama ketika bersinggungan dengan fungsi dan peran kajian akademik di ranah global.

Selama ini pengkajian kearifan lokal seakan telah menjadi kesadaran kembali diiringi penyesalan atas terabaikannya sejumlah besar kawruh (pengetahuan) milik bangsa sendiri. Jika sejak awal tradisi literer kita disertai kesadaran tertinggi dan kemerdekaan berpikir serta dipublikasikan secara global, bisa jadi sejarah pemikiran-pemikiran filosofis dan keilmuan pada umumnya tidak hanya berasal dari Barat.

Harapan itu kiranya tidak berlebihan, misalnya setelah membandingkan buah pikiran Ki Ageng Suryomentaram dan Michael Polanyi. Polanyi adalah ilmuwan dan filsuf kelahiran Hungaria. Dua orang ini diajukan sebagai komparasi filosofi karena dua hal.

Advertisement

Pertama, mereka lahir pada tahun yang hampir bersamaan. Ki Ageng lahir pada 20 Mei 1892 dan Polanyi lahir pada 11 Maret 1891. Kedua, mereka berdua memberikan tema yang hampir sama atas topik manusia. Ki Ageng dikenal dengan ajaran jati diri (pangawikan pribadi), relasi antara individu dengan alam raya (piyageming gesang), dan ilmu jiwa.

Polanyi dikenal melalui beberapa kajiannya tentang memahami diri kita sendiri, panggilan manusia, dan memahami sejarah. Tiga bab itu dapat dibaca dalam buku berjudul Kajian tentang Manusia (Kanisius, 2001). Hal menarik pada Ki Ageng dan Polanyi adalah pemahaman terhadap proses pencarian pengetahuan.

Keduanya meyakini ilmu hanya bisa didapatkan melalui keterlibatan ilmuwan secara personal. Bagi Polanyi, partisipasi ilmuwan dalam pencarian ilmu merupakan pemandu bagi pencapaian ilmu. Ki Ageng justru telah mempraktikkan langsung keterlibatan ilmuwan sebagai sebuah keniscayaan.

Ki Ageng bahkan menjadikan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan atas sejumlah peristiwa mental sosial. Sebagai seorang putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII, tekadnya keluar dari istana dan mengembara serta bekerja serabutan adalah salah satu lelaku yang dijalaninya.

Advertisement

Tindakannya menjual seluruh harta milik dan dibagikan kepada para abdi dalemnya adalah sebuah upaya lain penyangkalan diri. Keterikatan akan benda dunia dicoba dilepaskan. Dalam lelaku itu Ki Ageng menemukan sejumlah pencerahan budi.

Pencerahan budi tersebut di antaranya tentang rasa senang dan tidak senang. Ketidaksenangan dan kesenangan bukanlah rasa yang menjadi fakta melainkan sebuah tanggapan atas sebuah hal atau peristiwa (fakta). Pengetahuan tentang rasa senang dan rasa tidak senang ini akan membawa diri manusia pada pengetahuan tentang toleransi dan harmoni.

Dengan mengetahui rasa yang tidak disenangi oleh pribadi berarti menjadi pengetahuan untuk juga memahami rasa yang tidak disenangi oleh manusia lain. Pengetahuan ini akan menuntun manusia saling terhindar dari perselisihan.

Spirit mencoba dan menempatkan diri sendiri sebagai pelaku atas pencarian ilmu yang dilakukan Ki Ageng senada dengan pemahaman Polanyi yang diilustrasikan pada pengembara yang membawa peta dan tidak membawa peta.

Advertisement

Pengembara yang membawa peta memang akan segera sampai di tempat tujuan, namun berdasarkan pertumbuhan dan kemajuan pencapaian ilmunya, pengembara yang tidak membawa peta akan lebih memiliki banyak ilmu dan keberhasilan yang lain.

Fenomena ini, misalnya, bisa dimengerti pada diri almarhum Bob Sadino. Kemauan dan ketekunannya selalu mencoba-gagal-terus mencoba telah menjadikannya seorang pebisnis yang berhasil. Kisahnya itu tentu berbeda jika ia tidak pernah mencoba apa pun.

Umumnya, penemuan-penemuan memang didapatkan oleh para ilmuwan yang pantang menyerah. Pemahaman lebih jauh dari Ki Ageng adalah mengenai keberadaan benda-benda di alam raya. Hakikat keberadaan zat sebagai asal pembentuk benda adalah sudah ada sejak awal mula.

Zat berubah menjadi benda lain—setelah melalui proses produksi—bukanlah dari ketiadaan. Benda hasil produksi itulah yang keberadaannya baru muncul dan kemudian bisa kembali menjadi tidak ada, misalnya karena hancur. Zat dari benda itu sendiri bagaimanapun adalah abadi.

Advertisement

Pemahaman tersebut bisa menjadi pendorong pemikiran kritis bagi terciptanya sejumlah teori ilmu-ilmu alam. Demikian juga dengan pengertian Ki Ageng terhadap keinginan (motif, hasrat) dalam diri manusia.

Keinginan itu adalah daya yang menggerakkan. Pemahaman ini tentu juga bisa mendasari munculnya teori-teori ekonomi dan energi, bahkan terhadap fenomena yang tidak lazim. Contohnya, akan sulit diterima akal sehat terjadinya ”pengiriman” benda-benda tajam (paku, jarum, pecahan kaca, dan lain-lain) dalam ilmu santet.

Teknologi Komunikasi
Kejadian perpindahan benda-benda itu adalah sebuah fakta. Setidaknya di sebagian suku bangsa kita cukup dekat dengan fenomena tersebut. Sulit bagi manusia modern memahami pengalihan energi semacam itu. Bagaimana jika fenomena berpindahnya sejumlah benda itu lalu dianalogikan dengan smartphone dalam kemampuan mengirim sejumlah teks dan gambar?

Bisa dipastikan manusia yang belum memahami teknologi komunikasi juga akan termangu merespons mekanisme pengiriman pesam dengan medium SMS, MMS, WA, Line, dan sebagainya.

Jika kemampuan memindahkan sejumlah energi itu dijadikan pengetahuan yang bebas dipelajari, tidak terstereotipe oleh dikotomi keyakinan, sangat mungkin kita mampu lebih dulu memiliki bisnis kurir dan ekspedisi lintas teritorial.

Minimal sebuah atraksi untuk menarik wisatawan bisa ditampilkan. Tentu ilustrasi ini tidak dimaksudkan untuk bahan olok-olok. Peluang penemuan sejumlah alat-alat teknologi sangat dimungkinkan jika sejumlah ajaran dari para filsuf lokal tidak berhenti sebatas sebagai ajaran.

Advertisement

Perilaku memosisikan pengetahuan sebagai hal yang keramat akan menjadi tembok tebal bagi kehidupan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang dibuka dan terbuka untuk dipelajari sebagai ilmu justru akan ditempatkan dan menempatkan dirinya semakin berkembang dan dikembangkan.

Dalam hal ini kita wajib berhati-hati terhadap segala upaya meminggirkan ajaran atau ilmu oriental. Salah satu contoh ironis adalah terkait dengan hipnoterapi. Pakar hipnosis yang telah mengantongi sejumlah sertifikat luar negeri, Kirdi Putra, bahkan terlambat menyadari bahwa sumber ilmu itu adalah dari budaya kita.

Para pakar luar negeri hanya pintar memformulasikannya secara sistematis sehingga bisa tersaji sebagai sebuah pengetahuan ilmiah yang bisa dipelajari dan dipublikasikan  Untungnya, ajaran Ki Ageng Suryomentaram sempat dijadikan disertasi di Universitas Gregoriana, Roma (1980).

Materi kawruh jiwa Ki Ageng juga menjadi bahan ajar mahasiswa S2 dan S3 di Universitas St. Thomas, Filipina. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta juga sedang berupaya menjadikan ajaran Ki Ageng sebagai salah satu studi teori psikologi Nusantara (www.ugm.ac.id).

Masih diperlukan banyak publikasi ilmiah internasional bagi ilmu-ilmu oriental lainnya. Salah satu kesulitan United Nations Educational and Scientific Organization (UNESCO) dalam memenuhi klaim Indonesia terhadap sejumlah seni budaya nasional adalah karena tidak adanya kajian ilmuwan Indonesia secara internasional atas seni budaya itu.

Ini adalah salah satu cara menjual harta karun budaya Indonesia. Itulah mengapa Polanyi lebih bisa mendunia daripada Ki Ageng Suryomentaram.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif