Kolom
Minggu, 12 April 2015 - 10:15 WIB

GAGASAN : Autokritik Keuangan Islam

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Ubaidillah (Istimewa)

Gagasan ini ditulis Ahmad Ubaidillah. Penulis adalah mahasiswa Program Magister Studi Islam, Universitas Islam Indonesia.

Solopos.com, SOLO — Globalisasi secara signifikan telah memengaruhi semua aspek kehidupan: ekonomi, politik, keuangan, budaya, dan lain sebagainya. Segi positif globalisasi bisa kita lihat dari pergerakan arus teknologi dan sumber daya manusia antarnegara.

Advertisement

Sedangkan sisi negatifnya dapat kita saksikan dari kurangnya pemerintah mengontrol perekonomian dan menentukan arus modal yang deras itu. Kenaikan harga minyak mendorong investasi di negara-negara teluk dan mendorong pemerintah mendukung sistem keuangan Islam.

Di Indonesia, optimisme pada keuangan Islam sangat tinggi. Anggota Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mulya Efendi Siregar dalam seminar Enhancing Financial Inclusion Through Islamic Finance di Jakarta mengatakan 2015 menjadi tahun keuangan syariat (Islam).

Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah menyatakan saat ini aset keuangan syariat di seluruh dunia telah mencapai dua triliun dolar Amerika Serikat (US$). Pertumbuhannya juga semakin baik. Pada 2014 tumbuh sekitar 17,3% dibanding tahun sebelumnya atau dua kali lipat dari sistem keuangan konvensional.

Advertisement

Aam Slamet Rusydiana dan Hasna Maliha dalam tulisan berjudul Mengkritisi Bank Berbasis Bagi Hasil yang dimuat di jurnal Kordinat Kopertais Wilayah DKI Jakarta, Volume 11 No.1, April 2009, mengkritik bank Islam sebagai lembaga keuangan Islam.

Mereka mengemukakan peringatan untuk bank Islam. Pertama, meski secara esensial perbankan syariat berada pada posisi yang benar bukan berarti sudah berada pada posisi yang ideal.

Beberapa fakta yang terjadi menunjukkan masih ada hal yang harus diperbaiki dan diamati ulang, misalnya masalah porsi pembiayaan yang terlalu kental dengan nonbagi hasil, penggunaan instrumen likuiditas Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Syariat, kartu kredit syariat, dan lain sebagainya.

Perlu kiranya kajian mendalam bersifat empiris kuantitatif, umpamanya, tentang dampak yang ditimbulkan instrumen-instrumen tersebut. Kedua, purifikasi praktik perbankan syariat merupakan agenda utama yang harus terus mendapat perhatian.

Advertisement

Proses purifikasi ini mengarahkan perbankan syariat terus memperbaiki praktik untuk meningkatkan kemurnian terhadap prinsip-prinsip syariat yang harus dipegang teguh (syaria compliance).

Ketiga, hendaknya perbankan syariat tidak menggunakan ”segala macam cara” demi mencapai tujuan. Perbankan syariat harus mulai memikirkan cara mencari solusi atas ketidakberdayaan masyarakat kecil sehingga benar-benar menjadi bank yang “santun”, tidak kehilangan sisi sosial dan juga berprofit tinggi: green banking.

Kita memang harus mengakui saat ini lembaga keuangan Islam telah berdiri di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dan juga di negara-negara Eropa dan Amerika. Pertumbuhan lembaga keuangan Islam sangat menggembirakan.

Ada sejumlah tantangan yang harus diselesaikan guna mempercepat proses pertumbuhan ini. Tantangan ini dapat digolongkan menjadi dua: internal dan eksternal.

Advertisement

Bentuk yang Realistis
Secara internal, para investor masih mengandalkan sistem perbankan konvensional karena jumlah lembaga keuangan Islam saat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anggota Organisasi Negara-Negara Islam (OIC).

Kontribusi lembaga keuangan Islam dalam pasar modal dan uang dibatasi oleh Dewan Pengawas Syariat (SBB) dan layanan nasabah di lembaga keuangan Islam masih prematur dalam menarik nasabah baru.

Lembaga keuangan Islam kekurangan sistem aturan yang solid untuk menyatukan transaksi dan produk-produknya, misalnya asuransi dan sukuk.

Secara eksternal, komunikasi antara lembaga keuangan Islam dan sejumlah anggota pasar keuangan lainnya kurang intensif. Di samping itu, kontribusi terbatas lembaga keuangan Islam pada pasar keuangan mengakibatkan kurangnya pengakuan oleh Bank Sentral.

Advertisement

Lembaga keuangan Islam perlu membangun komunikasi yang efektif dengan  rekannya untuk memperbaiki berbagai kesalahpahaman dan memudahkan proses masuk ke pasar global.

Abdullah Saeed dalam tulisannya berjudul Islamic Banking and Finance: In Search of a Pragmatic Model mengindetifikasi sikap pragmatis para bankir Islam. Pragmatisme para bankir Islam disebabkan oleh sejumlah faktor.

Yang paling penting, menurut Saeed, pertama, Bank Islam beroperasi di lingkungan yang mengharuskan bersaing dengan bank-bank yang berbasis bunga dan oleh karena itu pikiran para ahli keuangan dan bankir Islam adalah mereka harus memberikan layanan yang sama dan mekanisme investasi kepada nasabah.

Kebutuhan inilah yang mendorong sikap pragmatis dalam lembaga keuangan dan bank Islam. Kedua, banyak bankir, ahli keuangan, dan ekonom Islam lulusan pendidikan ekonomi Barat modern–terlepas apakah mereka belajar di universitas Barat atau universitas di negara muslim–dengan pengalaman mereka kadang-kadang menyebabkan mereka berpikir agar bisa bertahan, keuangan Islam, pada taraf tertentu,  harus mengikuti praktik lembaga keuangan ala Barat.

Ketiga, kebanyakan kebijakan pemerintah berpenduduk mayoritas muslim tentang persoalan perbankan, keuangan, dan ekonomi bersandar pada model dan  pendekatan Barat. Mereka melihat berbagai penyimpangan pendekatan Barat dengan penuh dengan kecurigaan.

Keempat, kebanyakan negara-negara Islam dari abad ke-19 hingga sekarang mengabaikan hukum Islam, kecuali persoalan hukum keluarga, dan upaya untuk kembali menerapkan hukum Islam tradisional dihadapkan pada tantangan yang berat.

Advertisement

Lembaga keuangan Islam harus berfungsi di tingkat global yang berarti harus berinteraksi dengan sistem keuangan berdasarkan bunga, termasuk bank, perusahaan asuransi, perdagangan saham, dan kurs valuta asing.

Untuk berjalan di lingkungan seperti itu, para bankir Islam dan penasihat hukum syariat harus kreatif dan inovatif  dalam mendekati perkembangan operasional keuangan Islam.

Literatur-literatur yang bersifat idealistis perlu diwujudkan dalam bentuk yang realistis dengan tetap mengacu aturan-aturan syariat. Kalau ini bisa dilakukan, saya percaya lembaga-lembaga keuangan Islam dalam berbagai bentuknya akan diterima, baik secara ekonomi maupun religius.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif