Kolom
Jumat, 10 April 2015 - 04:41 WIB

MIMBAR MAHASISWA : Tanpa Foto, Mereka Bisa Apa?

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Udji Kayang Aditya Supriyanto (Istimewa)

Mimbar Mahasiswa ini ditulis Udji Kayang Aditya Supriyanto. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sosiologi, Universitas Sebelas Maret. Penulis aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan.

Solopos.com, SOLO — Untuk Hanputro Widyono, temanku semasa SMA yang kini jadi mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret. Aku sudah membaca esaimu di Mimbar Mahasiswa Solopos edisi Selasa (31/3) dengan judul Demonstrasi dalam Kuasa Foto Berita.

Advertisement

Aku tertarik dengan tema yang kau angkat dalam esai itu. Tulisanmu memang nakal dan itulah engkau. Aku punya beberapa catatan yang menurutku perlu kusampaikan. Semoga kau berkenan membaca. Ya, engkau pasti mau baca.

Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia kalau ogah membaca ya malu sama kucing dong. Han, aku sepakat pula dengan Jean Baudrillard, bahwa foto adalah kebohongan. Maret lalu, aku mengunjungi pameran Made in Commons yang diselenggarakan Kunci dan kawan-kawan komunitas di Jogja.

Di salah satu ruangan, beberapa karya tipografi dipajang. Tipografi yang persis kujumpai kali pertama bertuliskan ”Mulai dari situ, gw belajar menipu dari foto, hahahahahahahaha.” Agan Harahap, pencetus kalimat itu sekaligus pegiat desain grafis, praktis sepakat dengan kebohongan foto.

Advertisement

Selama ini foto sangat otoriter. Mata kita tak bisa menolak foto yang berada tepat di hadapan kita. Foto artis porno sekalipun, mata kita tak bisa menolak. Entah setelah itu mau berpaling, atau malah memelototi, toh mata kita selalu sempat melihatnya.

Dari awal, karya fotografi sudah harus diseleksi sebelum disajikan. Para fotografer perlu objek fotografi yang kooperatif. Setelah terpublikasi, foto tak sanggup memilih sendiri siapa pemirsanya.

Han, bila kau menuduh para demonstran (mahasiswa yang berdemonstrasi) sekadar aktor, itu jahat. Tapi, mungkin mereka boleh bangga juga, sebab aktor punya banyak fans bukan? Kasus fotografer di Jakarta yang mengarahkan demonstran ke bawah tulisan “KPK” itu contoh yang bagus.

Fotografer sebagai sutradara dan para demonstran aktornya. Meski begitu, di tempat lain, fotografer yang justru diarahkan. Kawanku yang juara 1 Lomba Foto Indonesia 2014 mengakui itu. Kata dia, ”Aku pernah memotret demo mahasiswa Jogja-Solo-Semarang. Mengejar sisi fotografis bisa dikatakan iya. Aku pernah diarahkan demonstran mahasiswa untuk dapat angle yang bagus.” Demonstran boleh narsis, kan?

Advertisement

Pewaris Citra
Demonstrasi adalah aksi yang sangat fotografis. Dalam momentum tersebut para mahasiswa fasih berpose, mengepalkan tangan, membawa spanduk, membakar foto atau ban bekas, dan lain-lain, bahkan sebelum aksi pun mesti berdandan rapi dulu pakai jas almamater.

Itulah mengapa saat ada kabar mahasiswa akan berdemonstrasi, yang pasti datang adalah fotografer. Mengapa bisa demikian? Mari mengintip sejarah. Mari tengok angkatan ’66. Merekalah kaum muda yang mewarisi semangat juang para founding fathers negara ini.

Ketika kekisruhan negara tersibak, mahasiswa segera bergerak. Hal lain yang penting diperhatikan di masa itu, mahasiswa pergerakan akrab dengan buku. Misalnya Soe Hok Gie yang pada masa mudanya sudah membaca Karl Marx, Albert Camus, dan sebagainya.

Masih banyak lagi yang seperti dia pada masa itu meski tentu kisahnya tak sedramatis Gie. Di bawah rezim Orde Baru, akses terhadap buku-buku semacam itu (diper)sulit. Banyak masalah selama Soeharto berkuasa puluhan tahun.

Advertisement

Tentu saja mahasiswa gerah, akhirnya terwarisilah semangat angkatan ’66 meskipun mahasiswa mesti menunggu dan mempersiapkan diri cukup lama untuk suksesi ’98. Konon, sudah sejak 1989 aksi besar tersebut disiapkan.

Hasilnya, aksi besar-besaran terjadi di Jakarta, Solo, dan beberapa tempat lainnya. Senayan sampai diduduki mahasiswa, betapa luar biasa? Lantas, lewat apa mahasiswa zaman ini mewarisi leluhurnya?

Jawabannya bukan pengalaman, bukan buku, tapi foto. Jelas sekali foto ribuan mahasiswa yang menduduki Senayan kala itu sangat memesona, menjadikan mahasiswa masa kini ingin menirunya. Begitu pula dengan angkatan ’66, yang mereka kenali lewat visualisasi di film Gie.

Aku yakin, seyakin-yakinnya, ketertarikan awal mereka pada demonstrasi disebabkan foto gagah rombongan mahasiswa yang berdemonstrasi. Kalaupun ada yang berdalih, ”Inspirasi kami dari buku!” aku yakin juga saat mereka membaca Catatan Seorang Demonstran yang pertama kali muncul adalah paras tampan Nicholas Saputra, padahal dia bukan Gie.

Advertisement

Aku pikir yang salah bukan mahasiswa demonstran itu. Mereka sendiri mengaku berjuang demi kepentingan rakyat, mulia sekali bukan? Yang salah adalah foto, itulah yang bikin mereka ketergantungan.

Karena ada foto maka ada yang harus disiapkan agar bisa tampil bagus dalam foto tersebut. Tidak mesti menyengaja, secara tak sadar pun kita punya kecenderungan seperti itu. Sebagaimana Lacan mengatakan seorang manusia tak cuma butuh objek benda sebagai jouissance (penikmatan), namun juga pengakuan orang lain.

Lewat foto barulah orang lain bisa memberi pengakua. Sering dijumpai istilah ”no pic, hoax!” Ketergantungan mahasiswa demonstran pada fotografi tak dapat dielakkan. Mereka menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar begini-begitu, intinya biar becus mengurus negara.

Apakah mereka berani memaksakan diri bertemu langsung dengan Jokowi dan berdialog ini-itu? Apakah presiden yang kerjanya super sibuk punya waktu menonton demonstrasi mahasiswa? Lalu, dari mana presiden tahu kalau dirinya sedang didemo?

Ya, lewat foto yang disebarluaskan media massa dan media sosial. Iya, cuma foto. Aku tak yakin Presiden Jokowi sempat membaca teks beritanya, paling-paling hanya mengintip fotonya. Bukankah sebuah foto setara dengan ribuan kata?

Han, kau menulis esai mengenai fotografi dengan bagus tapi tidak memerhatikan foto yang kau pajang. Aku tahu, itu fotomu zaman SMA. Foto bisa merekam perubahan, seperti beberapa keluarga di Barat yang setiap tahun memperbarui foto keluarga.

Advertisement

Di sisi lain, foto juga menghentikan perubahan, menjadikan objek di dalamnya tetap. Misalnya foto Karl Marx, adakah yang bisa membayangkan Marx saat masih remaja? Tentu yang dibayangkan adalah wajah pria dengan jenggot rimbun dan rambut putih.

Seperti juga kau, Han. Bagi mereka yang belum kenal kau, pasti tak mengira kalau sebenarnya kau kini gondrong dan brengosen [berkumis]. Itulah hebatnya foto!

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif