Kolom
Jumat, 10 April 2015 - 08:40 WIB

GAGASAN : Remunerasi Pengganti Tanah Bengkok

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tri Harjoko (Istimewa)

Gagasan kali ini ditulis Tri Harjoko. Penulis adalah pengajar di Sekolah Vokasi Program Diploma Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Pada Senin, 23 Maret 2015 lalu, sekitar 40 kepala desa (kades) dan perangkat desa se-Soloraya yang  tergabung dalam Forum Pembaharuan Desa (FPD) ke Jakarta menuntut revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 43/2015 tentang Pemerintahan Desa.

Advertisement

Pokok tuntutan adalah agar mengeluarkan tanah bengkok atau tanah kas desa dari pendapatan desa.  Untuk memahami tentang tanah bengkok akan diulas kedudukan tanah bengkok semenjak lahirnya Undang-Undang (UU) No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

UU ini disahkan pada 24 September 1960. UU ini mengakhiri kebinekaan (pluralisme) hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan perangkat hukum yang berstruktur tunggal.

Untuk mencapai kesatuan di bidang hukum tanah, bukan hukumnya saja yang diunifikasikan tetapi juga hak-hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas tanah yang ada, yang semuanya bersumber pada berbagai perangkat hukum yang lama.

Advertisement

Perubahan hukum ini sangat mendasar. Hak tanah adat yang sebelumnya diatur dalam hukum adat ”disesuaikan” melalui ketentuan-ketentuan konversi dalam UU No. 5/1960 ini. Konversi adalah perubahan status tanah (termasuk di dalamnya tanah bengkok).

Menurut ketentuan, hak tanah adat dikonversi dalam ketentuan Pasal VI menjadi hak pakai. Dengan demikian tanah bengkok adalah tanah negara yang diserahkan kepada desa untuk dimanfaatkan bagi kepentingan desa.

Dalam sistem agraria di Pulau Jawa, tanah bengkok adalah lahan garapan milik desa dan tanah bengkok merupakan tanah atau lahan yang secara adat dimiliki sendiri untuk kepala desa atau perangkat desa sebagai kompensasi gaji atas jabatan dan pekerjaan yang dilakukan.

Tanah bengkok tidak dapat diperjualbelikan tanpa persetujuan seluruh warga desa namun boleh disewakan oleh mereka yang diberi hak untuk mengelolanya.

Advertisement

Pengaturan tentang tanah bengkok dimulai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 1/1982 tentang Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa, Pengurusan, dan Pengawasannya.

Dalam Pasal 3 Permendagri itu dinyatakan yang disebut kekayaan desa adalah (1). Tanah kas desa, termasuk tanah bengkok, (2). Pemandian umum yang diurus oleh desa, (3). Pasar desa, (4). Objek-objek rekreasi yang diurus oleh desa, (5).  Bangunan milik desa, dan (6). Lain-lain kekayaan milik pemerintah desa.

Dengan demikian, sejak diterbitkannya permendagri tersebut, tanah bengkok telah diubah fungsinya dari tanah yang hasilnya diperuntukkan kepala desa dan perangkat desa menjadi sumber pendapatan desa.

Pasal 11 ayat (1) permendagri tersebut menyatakan sumber-sumber pendapatan desa berupa tanah bengkok dan sejenis yang selama ini merupakan sumber penghasilan bagi kepala desa dan perangkat desa, ditetapkan menjadi sumber pendapatan desa yang pengurusannya ditetapkan melalui anggaran penerimaan dan pengeluaran keuangan desa.

Advertisement

Permendagri tersebut dipertegas Intruksi  Mendagri No. 26/1992 tentang Perubahan Status Tanah Bengkok dan yang Sejenis Menjadi Tanah Kas Desa. Hal ini membuat  pengurusan dan pengawasan tanah bengkok masuk menjadi tanah kas desa. Dengan demikian, pengelolaan harus melalui anggaran penerimaan dan pengeluaran keuangan desa .

Merit System

Berdasarkan UU No. 6/2014 tentang Desa, terutama Pasal 75, pengelolaan dan pemanfaatan tanah bengkok sepenuhnya diserahkan kepada kepala desa dengan perangkat desa  sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa.

Dalam UU tersebut, terutama Bab VIII mengenai Keuangan Desa dan Aset Desa, khususnya Pasal 72, menyatakan pendapatan desa berasal dari pendapatan asli desa yang terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa.

Advertisement

Pendapatan desa lainnya berasal dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota.

Selain itu juga bantuan keuangan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah.

Problem yang saat ini muncul adalah pada PP No. 43/2014 tentang peraturan pelaksaan UU tentang desa, terutama pada Pasal 100 huruf (b), yakni paling banyak 30% dari nilai anggaran belanja desa digunakan untuk penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa dan perangkat desa, operasional pemerintah desa, tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa, dan insentif rukun tetangga dan rukun warga.

Berlakunya ketentuan ini mengakibatkan sebagian penerimaan kepala desa dan perangkat desa menurun karena seluruh penerimaan desa (termasuk dari tanah bengkok) harus dicatat dalam rekening kas desa sesuai Pasal 91 PP No. 43/2014.

Dalam UU No. 6/2014  tanah bengkok diatur dalam Pasal 72 ayat (1) huruf (a) yang menyatakan pendapatan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari pendapatan asli desa yang terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong.

Penjelasan Pasal 72 ayat (1) huruf (a) menyatakan yang dimaksud dengan ”pendapatan asli desa” adalah pendapatan yang berasal dari kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal desa.

Advertisement

Yang dimaksud dengan “hasil usaha” termasuk juga hasil Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) dan tanah bengkok. Peluang untuk memperoleh penghasilan dari bengkok yang selama ini menjadi sumber utama penerimaan kepala desa dan perangkat desa seolah-olah tertutup.

Hal ini masih bisa diupayakan dengan dasar Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 1/2015  tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.

Salah satu hal yang di sebutkan dalam Pasal 2 huruf (g) adalah pengelolaan tanah bengkok. Peraturan menteri tersebut menyatakan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota harus mengakui, menghormati, dan melindungi kewenangan berdasarkan hak asal usul tersebut.

Berdasar peraturan menteri tersebut pemerintah daerah dapat membuat peraturan (peraturan daerah/peraturan bupati) tentang pemberian remunerasi bagi kepala desa dan perangkat desa yang dananya bersumber dari tanah bengkok.

Sistem remunerasi berpegang pada merit system, yaitu penetapan nilai tunjangan kinerja harus berbasis kinerja, bobot pekerjaan, dan peringkat (grade) masing-masing jabatan.

Tuntutan peningkatan kinerja ini akan memacu kinerja aparat desa dan profesionalisme dalam melaksanakan tugas pelayanan publik. Dengan sistem ini tidak ada lagi istilah perangkat desa yang rajin dan malas pendapatannya sama.

Bagi yang malas bekerja persentase remunerasi yang diterima akan lebih kecil daripada aparat desa yang rajin. Dengan demikian tanah bengkok harus dihitung dalam penerimaan anggaran pendapatan dan belanja desa dalam mata anggaran hasil usaha.

Dengan demikian, tetap menjadi penghasilan kepala desa dan perangkat desa dalam pencatatan tunjangan dan penerimaan lain-lain yang sah dengan subpos tunjangan kinerja (remunerasi). Hal ini tidak melanggar Pasal 82 PP No. 43/2014.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif