Kolom
Senin, 30 Maret 2015 - 19:40 WIB

GAGASAN : Diskrepansi Pengadilan dan Mahalnya Keadilan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Agus Riewanto (Istimewa)

Gagasan kali ini ditulis Agus Riewanto. Penulis adalah Doktor Ilmu Hukum sekaligus dosen di Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Hari-hari ini publik disuguhi fenomena sejumlah putusan pengadilan yang diskrepansi, yakni putusan yang mengandung ketaksesuaian antara harapan publik dan kenyataan.

Advertisement

Publik selalu berharap pengadilan sebagai pintu utama hukum dapat mewujudkan rasa keadilan, namun kenyataannya pengadilan sering menghadirkan putusan atau vonis hukum kontroversial yang kerap melukai rasa keadilan.

Lihatlah beberapa fakta hukum belakangan ini. Kasus yang menimpa perempuan lanjut usia Asyani, 65, janda tukang pijat dan buta hukum di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur yang diganjar hukuman oleh Pengadilan Negeri (PN) Situbondo karena diduga mencuri tujuh batang pohon milik Perhutani.

Kasus laki-laki lanjut usia Harso Taruno, 67, petani miskin yang di Pengadilan Negeri di Gunungkidul, Derah Istimewa Yogyakarta (DIY), didadili karena didakwa menebang  pohon di hutan Suaka Margasatwa  Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan, Gunungkidul,

Advertisement

Yang juga menyita perhatian adalan kasus yang menimpa Yusman Telaumbanua, 16, seorang remaja di bawah umur di Kabupaten Gunungsitoli, Kepulauan Nias, Sumatra Utara yang dihukum mati oleh PN Gunungsitoli karena diduga membunuh tiga orang majikannya.

Tiga kasus ini hanya terjadi di level lokal, tetapi gaungnya menasional karena bukan saja telah melukai akal sehat, namun juga telah membuat pengadilan di negeri ini sangat bersifat diskrepansi, bahkan menjadi algojo yang kejam bagi kaum miskin dan anak-anak.

Pengadilan seolah-olah mengungkapkan pesan hanya berani menghukum orang miskin dan anak-anak, namun tak tak pernah berani menghukum orang kaya dan para elite politik yang bersalah di negeri ini.

Lihatlah bagaimana kasus ”rekening gendut” Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang dengan begitu mudahnya PN Jakarta Selatan membuat putusan hukum yang tak adil. Budi dibebaskan dari penetapan status hukum tersangka dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Advertisement

Kini kasus Budi ini dilimpahkan ke Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia. Mudah diduga kasus ini akan menguap seiring dengan munculnya aneka peristiwa hukum yang lain. Membandingkan kasus Asyani, kakek Harso Taruno, dan Yusman Telaumbanua dengan kasus Budi Gunawan bagia langit dan bumi.

Pada tiga kasus hukum orang miskin dan anak-anak tersebut pengadilan seolah memperlihatkan wibawa dan otoritasnya untuk secepat kilat menghukum dan bagai harimau yang lapar menerkam mangsanya, sedangkan pada kasus Budi Gunawan pengadilan berubah perangai menjadi bersahabat dan jadi dewa penolong.

Aspek Ekonomi
Dalam kajian teori hukum modern, pengadilan dalam membuat putusan hukum bukan saja harus adil kepada siapa pun (equality before the law), namun juga harus memerhatikan aspek analisis ekonomi, berupa efektivitas dan efisiensi dalam penegakan hukum.

Hal ini seperti dinyatakan oleh Richard A. Posner (1999) dalam bukunya Economic Analysis of Law, yang antara lain menyatakan dalam membuat putusan hukum yang adil selain pertimbangan kemanusiaan juga pertimbangana aspek ekonomi.

Advertisement

Sistem hukum harus dibangun berdasarkan asas-asas ekonomi, terutama aspek untung dan rugi. Negara harus menghitung secara matematika ekonomi, apakah sepadan antara kerugian yang ditimbulkan akibat suatu perbuatan jahat dengan uang yang dikeluarkan oleh negara dalam memproses hukum suatu kasus kejahatan.

Jika teori ini digunakan untuk membaca kasus yang dimeukakan di atas, seharus sejak proses penyidikan di kepolisian, penyelidikan di kejaksaan, dan proyustisia di pengadilan harus terlebih dahulu mengkaji dan mencermati apakah kejahatan yang dilakukan oleh si miskin (Asyani dan Harso) layak diproses hukum.

Kerugian yang diakibatkan kejahatan mencuri beberapa potong kayu tak sebanding dengan biaya (uang/anggaran) yang dikeluarkan negara untuk membiayai polisi, jaksa, dan hakim dalam memproses hukum kasus ini.

Jika didapat hasil biaya negara lebih mahal daripada kerugian kejahatan, sebuah kasus harus dihentikan. Sebaliknya jika didapat hasil biaya negara yang dikeluarkan untuk memproses sebuah kasus kejahatan lebih murah dibandingkan kerugian kejahatan, proses hukum harus dilanjutkan, bahkan dihukum berat.

Advertisement

Itulah sebabnya kasus Budi Gunawan seharusnya diproses hukum lebih lanjut jika menggunakan teori Richard A. Posner ini. Sedangkan  kasus Asyani dan Harso dihentikan sejak di tahap penyelidikan.

Hukum di Negara Lain
Dunia hukum yang syarat kepastian dan norma-norma tidak boleh dilepaskan pertaliannya dengan aspek ekonomi dalam penegakannya.

Pendekatan hukum dan ekonomi ini telah menjadi tren baru dalam penegakan hukum di negara-negara yang menganut faham hukum Aglosaxon atau model Amerika di benua Amerika, Afrika, maupun Asia.

Hal ini dilakukan  terutama untuk menemukan keadilan substansial dan dapat mengalahkan keadilan prosedural. Itulah mengapa di negara-negara Anglosaxon tidak semua kasus kejahatan diproses di pengadilan.

Hanya kasus-kasus hukum yang berat yang memiliki implikasi sosial politik luas di mata publik saja yang diproses di pengadilan. Kasus-kasus kejahatan yang kecil dan tak menimbulkan implikasi sosial yang luas tak pernah diproses di pengadilan.

Ini juga dimaksudkan untuk menghindari diskrepansi sistem pengadilan, yakni aparat hukum biasanya hanya tunduk kepada prosedur hukum yang kaku dan terhadap apa yang dikehendaki oleh teks dalam undang-undang tanpa kreasi untuk mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keekonomian (efektif dan efisiensi).

Advertisement

Itulah sebabnya di negara-negara Aglosaxon aparat hukum diberi ruang yang bebas untuk menerjemahkan makna teks undang-undang disertai dengan aspek moralitas dan independensi yang tinggi. Ini membuat pengadilan di sana relatif tak terjamah aspek suap dan jual beli putusan.

Pasti Memihak
Dalam penegakan hukum yang mempertimbangkan aspek ekonomi ini memang terkesan keadilan dalam hukum itu memihak. Secara teoretis keadilan itu bukan bebas nilai.

Keadilan bukan sesuatu yang mudah terjemahkan secara materiil. Keadilan akan terlihat dan terbaca melalui perasaan, bukan dalam pikiran. Ini persis seperti pernyataan John Rawls, (1971) dalam buku klasiknya, Theory of Justice.

Itulah sebabnya setiap putusan pengadilan di manapun di seluruh dunia selalu diawali dengan pernyataan ”demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini maknanya keadilan itu terkait dengan rasa berupa rasa kebertuhanan.

Dimensi eksistensi Tuhan itu hanya dapat dirasakan dalam aspek perasaan. Sama halnys dengan keimann krpada Tuhan yang hanya dapat dirasakan oleh perasaan, baru kemudian pikiran empirid, berupa eksistensi Tuhan dengan melihat ciptaan-ciptaan-Nya.

Seharusnya model diskrepansi sistem peradilan di Indonesia dihindari. Sistem peradilan negeri ini perlu reformasi dari aspek prosedur hukum yang kaku ke aspek kemanusiaan dan analisis ekonomi untuk dapat mencipatakan hukum yang berkeadilan dan lebih berpihak kepada kaum yang lemah, baik secara ekonomi maupun askses politik.

Reformasi menghindari diskrepansi pengadilan ini sesungguhnya telah dimulai oleh Mahamah Agung (MA) di era Ketua MA Harifin A. Tumpa (2009-2012). Pada 27 Oktober 2010 ia menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) No. 12/2010 tentang Penjatuhan Pidana yang Berat dan Setimpal dalam Tindak Pidana Korupsi.

SEMA ini ditujukan kepada seluruh pimpinan PN dan pengadilan tinggi (PT) seluruh Indonesia. Begitu pula saat menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2/2012 tentang Batasan Tindak Pidana Ringan.

PERMA ini memerintahkan tindak pidana ringan dengan nilai kerugian di bawah Rp2,5 juta tidak perlu ditahan dan cukup dimasukkan delik tindak pidana ringan (tipiring). SEMA dan Perma ini hanya mengikat PN dan PT dan tidak dipatuhi oleh polisi dan jaksa.

Itulah sebabnya sistem diskrepansi pengadilan  masih berlangsung karena tidak ada persepsi yang sama di antara aparat hukum dalam menangani delik pidana. Agar kasus Asyani, Harso, dan Yusman tidak terulang dan agar akses keadilan tidak mahal bagi kaum miskin, saatnya hukum kita berpihak kepada kaum papa dengan mempertimbangkan aspek moralitas dan ekonomi.

Lebih dari itu, diperlukan pula kesamaan persepsi dalam menyikapi setiap delik kejahatan pidana, baik di pengadilan, di kepolisian,  maupun di kejaksaan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif