Kolom
Senin, 30 Maret 2015 - 07:50 WIB

GAGASAN : Bank Syariat, Istilah atau Hakikat?

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pelayanan nasabah Bank Bukopin Syariah (Abdullah Azzam/JIBI/Bisnis)

Gagasan Solopos kali ini ditulis Dwi Supriyadi. Penulis adalah karyawan swasta yang lulus dari Jurusan Manajemen, STIE Surakarta. 

Solopos.com, SOLO — Sebagian masyarakat yang sudah fanatik dengan perbankan syariat dan menolak meyimpan uangnya di bank konvensional, tentu akan ikut menolak jika istilah bahasa Arab di bank syariat akan diganti. Seperti yang diusulkan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla beberapa waktu lalu mengusulkan penggantian istilah bahasa Arab dalam perbankan syariat dengan istilah bahasa Indonesia.

Advertisement

Dwi Supriyadi (Istimewa)

Istilah-istilah itu adalah wadi’ah, mudharabah, musyarakah, muzara’ah, musaqah, bai’ al-murabahah, bai’ as-salam, bai’ al-istishna’, sharf, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, ar-rahn, al-qardh, dan lainnya.

Di bank konvensial istilah yang digunakan adalah bahasa Indonesia atau bahasa asing yang mengadopsi dari perbankan barat (bukan Islam). Standar syariat adalah aturan yang sesuai dengan ajaran Islam, bukan semata-mata berhenti pada label, tetapi harus benar-benar secara total sesuai syariat, baik di sisi manajemen, aturan, tata kerja, dan berbagai hal yang terkait dengannya.

Advertisement

Dalam khazanah Islam klasik, tatanan syariat yang menjadi bagian fikih muamalah pada dasarnya telah ditetapkan secara definitif. Itu terbukti dalam penelitian Nashihul Ibad Elhas yang dipublikasikan dalam buku Produk Standar Ekonomi Syariat dalam Kilas Sejarah (2013).

Sistemnya diklaim sebagai syariat, padahal secara faktual tidak jauh berbeda dengan yang lain, hanya menggunakan bahasa Arab agar terlihat sesesuai dan berdasarkan syariat (islami). Kita bisa mengawali pengkajiannnya dari awal lahirnya sistem perbankan yang dianggap sebagai produk peradaban modern yang lahir dari Barat dan ternyata diterima di seluruh negara di dunia dan diadopsi sebagai lembaga yang legal.

Sedangkan umat Islam di Indonesia yang jumlahnya mayoritas seharusnya mampu menjadi market share yang potensial. Setelah itulah dibangun perbankan syariat.

Karena sistem perbankan lahir di Barat, maka merasa perlu ”mengislamkan” sistem tersebut agar menjadi syariat dengan memberikan istialah-istilah Islami di dalamnya. Lalu muncullah sistem perbankan/lembaga keuangan syariat yang kini turut menjamur di Indonesia.

Advertisement

Sistem perbankan yang jamak dikenal itu lahir di Barat maka dirasa perlu ’’mengislamkan’’ sistem tersebut agar sesuai syariat dengan memberikan istilahistilah islami di dalam praktiknya.

Muncullah sistem perbankan/lembaga keuangan syariat yang kini kian menjamur di Indonesia. Kita perlu merujuk bagaimana praktik perbankan di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat walau saat itu memang secara institusional istilah bank/lembaga keuangan legal belum dikenal.

Praktik perbankan telah dilakukan oleh individu-individu yang diakui jujur dan terpercaya seperti Nabi Muhammad SAW yang mendapat gelar al-amin.

Di sisi agama saat itu Nabi Muhammad SAW memang selalu ditentang oleh mayoritas kaum Quraisy, tapi soal jual beli dan menitipkan barang tidak ada yang lebih bisa dipercaya kecuali Muhammad SAW.

Advertisement

Tak mengherankan kalau kaum Quraisy kala itu tetap menitipkan harta benda mereka kepada Muhammad SAW. Saat hendak hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW masih menyimpan barang titipan.

Ia kemudian meminta sahabat Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan semua titipan itu kepada pemiliknya. Jika mengacu pada konsep ini, orang yang dititipi harta/benda tidak boleh memanfaatkan untuk kepentingan pribadi.

Konsep ini berbeda dengan apa yang dilakukan sahabat nabi bernama Zubair bin Awwam. Ia tidak mau menerima titipan barang kecuali si pemilik barang bersedia menghitungnya sebagai pinjaman.

Dengan menghitung sebagai pinjaman (bukan titipan), yang menerima titipan barang bisa memanfaatkan barang itu namun tetap berkewajiban mengembalikannya secara utuh. Transaksi perbankan lainnya juga telah dilakukan Ibnu Abbas dan Abdullah bin Zubair, yaitu pengiriman uang ke Kuffah, Irak, Syam, hingga Yaman.

Advertisement

Cek
Pada masa Khalifah Umar bin Khatab telah dikenal cek untuk beberapa keperluan, seperti membayar tunjangan, mengambil gandum di baitul mal, dan memberi modal kaum Muhajirin dan kaum Anshar (Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, 2004).

Satu hal yang patut menjadi perhatian, transaksi pada masa itu dilaksanakan dengan akad yang berlandaskan syariat Islam. Prinsip yang dipegang adalah saling membantu demi kemaslahatan bersama dan kerelaan untuk berbagi hasil. Mengapa di perbankan syariat saat ini kita masih belum bisa melihat pergerakan yang signifi kan dari peran pokok sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary insti tution) antara unit-unit ekonomi yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan unitunit lain yang mengalami kekurangan dana (lack of funds)?

Entahlah, tampaknya masyarakat luas masih lebih percaya kepada bank konvensional untuk menjalankan dua fungsi itu. Bisa jadi inilah yang diharapkan Wapres Jusuf Kalla dengan usul mengubah istilah berbahasa Arab di bank syariat.

Dengan pengubahan istilah bahasa Arab menjadi bahasa Indonesia, diharapkan market share akan meningkat, baik berupa penghimpunan dana, penyaluran dana, maupun menyediakan berbagai jasa transaksi keuangan untuk masyarakat.

Ciri khas sebagai lembaga keuangan yang islami tetap harus ditonjolkan tanpa harus selalu menggunakan istilah bahasa Arab (arabisasi).

Perbankan syariat memiliki perbedaan yang mendasar dengan perbankan konvensional. Pertama, bank syariat menjadikan uang sebagai alat tukar, bukan komoditas yang diperdagangkan.

Advertisement

Kedua, bank syariat menggunakan cara bagi hasil, bukan sistem bunga. Ketiga, risiko dihadapi bersama-sama oleh bank syariat/lembaga keuangan dan nasabah. Keempat, di dalam bank/lembaga keuangan syariat terdapat dewan pengawas syariat.

Dari sini bisa kita ambil benang merahnya bahwa perbankan/lembaga keuangan syariat seharusnya berperilaku lebih humanis karena keberadaannya membantu usaha masyarakat, bukan semata-mata mencari keuntungan.

Sistem syariat juga harus mampu memproyeksikan diri sebagai lembaga keuangan yang islami, lembaga keuangan yang sesuai ajaran Islam. Bukan lembaga keuangan yang hanya berhenti pada label, apalagi hanya berpatokan pada penggunaan istilah bahasa Arab.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif