Jatim
Jumat, 27 Maret 2015 - 06:05 WIB

KRISIS ENERGI : Kurang Eksplorasi, Jatim Krisis Migas dan Listrik Sebelum 2025

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pembangkit tenaga listrik tenaga uap (JIBI/Solopos/Antara)

Krisis energi membayang-bayangi Jatim. Bahkan dalam 10 tahun ke depan, Jatim akan krisis migas dan listrik karena buruknya perencanaan eksplorasi energi.

Madiunpos.com, SURABAYA — Jawa Timur dikhawatirkan mengalami krisis minyak dan gas (migas) serta listrik sebelum 2025, jika pemerintah pusat masih mempersulit kucuran dana untuk mengeksplorasi cekungan-cekungan energi yang belum tergarap di provinsi tersebut.

Advertisement

Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekdaprov Jatim Hadi Prasetyo mengatakan sebenarnya provinsi beribu kota Surabaya itu masih mempunya banyak potensi energi. Namun, upaya eksplorasinya terkendala ‘politik anggaran’.

Untuk listrik, misalnya, Jatim selama ini menjadi pemasok seluruh provinsi di Jawa dan Bali. Saat ini, sisa beban puncak di Jatim masih 1.200 MW, yang mana sumbernya masih tergantung pada energi fosil.

Dengan daya pasok Jatim yang sudah mencakup Jawa-Bali, sambung Hadi, ternyata rasio elektrifikasi Jatim hanya 82%. Masih ada sekitar 30 desa yang belum dialiri listrik. Sementara itu, PT PLN (Persero) Distribusi Jatim tidak sanggup berbuat banyak.

Advertisement

“Dividen yang harus disetor [PLN Jatim] ke negara terlalu tinggi. Pada 2013, mereka minta tolong kepada Pemprov Jatim untuk mengalokasikan APBD senilai Rp150 miliar guna membantu mereka melistriki pelosok Jatim,” ungkapnya, Jumat (22/3/2015).

Sudah Bantu PLN
Meski Pemprov Jatim mengaku bersedia membantu PLN, upaya tersebut terbentur aturan perundang-undangan yang melarang APBD untuk dihibahkan kepada BUMN. “APBD, kalau menurut regulasi, hanya boleh dialokasikan ke asetnya BUMD.”

Hadi—yang menyebut kasus tersebut sebagai ‘politik anggaran’—menyatakan hal serupa juga menjadi kendala eksplorasi geotermal di Jatim. Padahal, menurutnya, potensi geotermal Jatim cukup besar. Namun, kucuran dana negara untuk menggarapnya dipersulit.

Advertisement

“Jika berbicara soal kedaulatan energi, harus dipertanyakan kembali sikap politik kita itu seperti apa. Harusnya, [untuk menggarap potensi geotermal di Jatim] kan bisa menggunakan penerbitan obligasi.”

Potensi Energi Jatim
Menurut catatan Pemprov Jatim, potensi geotermal provinsi tersebut mencapai kurang lebih 1.346,8 MWA. Sampai saat ini, ada 11 titik yang sudah teridentifikasi, tapi baru 2 yang sudah dilelang. Itu pun, menurut Hadi, tidak membukukan progres signifikan.

Untuk sektor minyak, Jatim pada tahun lalu memproduksi 165.000 barel/hari. Tahun ini, jika ada kucuran inevstasi dari Exxon, diharapkan produksi bertambah lagi sejumlah 130.000 barel/hari.

“[Dalam hal produksi migas], Jatim tidak akan bisa mengalahkan pulau-pulau lain di Indonesia Timur. Masih ada sekitar 535 MMSCFD [gas] yang akan berproduksi, tapi itu tidak banyak, karena tidak efisien untuk LNG.”

Menurutnya, jika saja pemerintah pusat mau menambah belanja untuk eksplorasi, maka rancangan kedaulatan energi akan lebih mudah tercapai. Pasalnya, selama ini dana yang dikucurkan melalui Dewan Energi Nasional (DEN) saja tidak cukup.

Eksplorasi Renda
Ekonom Energi Aang Achmad Prayogo berpendapat masalah minimnya pertumbuhan produksi migas di Jatim dipicu oleh lambatnya pertumbuhan investasi untuk eksplorasi. Padahal, angka investasi untuk eksploitasi terus naik.

Tahun lalu, menurutnya, investasi untuk eksplorasi mencapai US$1,4 miliar. Sementara itu, investasi eksploitasi—alias menggarap lahan yang sudah dieksplorasi—menembus US$19 miliar.

“Hal ini menunjukkan arah investasi migas di dalam negeri masih berorientasi pada bagaimana mempertahankan lahan yang sudah produksi, dan yang produksinya makin turun. Bukan bagaimana membuka lahan baru,” katanya.

Ingin Uang Cepat
Pada kesempatan yang sama, Kepala Divisi Humas SKK Migas Rudianto Rimbono menambahkan sulitnya menaikkan produksi migas di Tanah Air dipicu oleh berbagai hal. Salah satunya adalah belanja investor untuk eksplorasi hanya US$1,2-US$1,5 miliar/tahun.

Selain itu, kendala lainnya adalah masalah perizinan, pembebasan lahan, sikap pemerintah yang menginginkan ‘uang cepat’ dari proyek-proyek eksplorasi, serta berbagai regulasi penghambat.

“Dari Rp200 triliun investasi untuk eksplorasi, baru Rp100 triliun yang sudah diserap oleh para pengusaha migas nasional. Dari 310 wilayah kerja, baru 81 yang digarap dan 63 yang sudah produksi. Tahun lalu, total pendapatan kita dari sektor migas mencapai Rp320 triliun.”

Blok Banyuurip
Di Jatim sendiri, sambungnya, kemungkinan bakal ada penambahan produksi sejumlah 42.000 barel akhir bulan ini dari blok Banyuurip. Meski tidak signifikan, hal itu diharapkan mampu mendongkrak sedikit angka lifting migas.

Deputi Direktur Bidang Eksplorasi PT Pertamina (Persero) Doddy Priambodo saat ini produksi minyak nasional hanya 13% dari total produksi energi, tapi penggunaannya mencapai 45%. Akibatnya, sejak 2004, RI resmi menjadi importir minyak.

“Kalau mau menutup gap produksi dan konsumsi, pilihannya hanya ada tiga; eksplorasi, beli [impor], atau cari energi alternatif. Pertamina sendiri per tahun menghasilkan 200.000 barel minyak, dan 1,2 miliar MMSCFD gas. Itu saja masih terjadi shortage minyak,” katanya.

Untuk mengantisipasi kekurangan energi pada 2025, lanjutnya, Pertamina akan mengupayakan produksi 3,6 juta kiloliter minya, 500.000 ton LPG, infrastruktur pelabuhan dan kapal untuk distribusi bahan bakar, serta pembangunan berbagai pipa gas.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif