Jateng
Senin, 26 Januari 2015 - 01:50 WIB

KPK VS POLRI : Pemerintah Perlu Belajar Cara Pilih Pejabat

Redaksi Solopos.com  /  Sumadiyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Para aktivis antikorupsi menggelar aksi di Bundaran HI, Minggu (25/1/2015). (Abdullah Azzam/JIBI/Bisnis)

Para aktivis antikorupsi menggelar aksi di Bundaran HI, Minggu (25/1/2015). (Abdullah Azzam/JIBI/Bisnis)

KPK vs Polri menuai respons pakar hukum tata negara Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Menurut Rahmat Bowo, pakar hukum tata negara, konflik antara KPK dan Polri menjadi pelajaran berharga pemerintah dalam memilih pejabat yang bersih  

Advertisement

 

Kanalsemarang.com, SEMARANG- Pakar hukum tata negara Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Rahmat Bowo mengatakan konflik Polri-KPK bisa menjadi pembelajaran penting bagi pemerintah dalam memilih pejabat.

Advertisement

Kanalsemarang.com, SEMARANG- Pakar hukum tata negara Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Rahmat Bowo mengatakan konflik Polri-KPK bisa menjadi pembelajaran penting bagi pemerintah dalam memilih pejabat.

“Berkaca dari yang terjadi antara Polri-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang ini, ada pembelajaran berharga yang bisa diambil. Pilih pejabat yang tidak berisiko,” katanya seperti dikutip Antara, Sabtu (25/1/2015).

Menurut dia, semestinya rekam jejak (track record) menjadi pertimbangan paling penting dalam memilih pejabat agar tidak menimbulkan permasalahan pelik di kemudian hari, sebagaimana sekarang.

Advertisement

“Kenyataannya, pejabat-pejabat yang berisiko semacam ini malah yang dipilih. Sudah jelas-jelas jadi tersangka, tetap dipaksakan jadi Kapolri, misalnya. Sekecil apa pun, tetap berisiko,” katanya.

Memaksakan pejabat yang berisiko, terutama terkait hukum, kata dia, memiliki implikasi negatif, yakni pejabat yang bersangkutan akan mudah didikte oleh pihak tertentu dalam menjalankan tugasnya.

“Begini, jangan-jangan malah pejabat yang berisiko ini yang sengaja dipilih agar mudah didikte. Sebab, kalau pejabat itu ‘ngeyel’, ‘boroknya’ akan dibongkar. Jadinya kan ‘nurut’,” tukas Rahmat.

Advertisement

Implikasi negatif lainnya, kata dia, pejabat bersangkutan sewaktu-waktu bisa dipersoalkan secara hukum karena “borok” dalam rekam jejaknya itu, seperti yang terjadi antara Polri-KPK sekarang ini.

Makanya, Rahmat mengingatkan pemerintah harus selektif dalam memilih pejabat, apalagi yang akan menduduki jabatan-jabatan sentral, terutama dalam rekam jejaknya yang tidak memiliki risiko.

“Persoalan yang terjadi antara Polri-KPK sekarang ini kan tidak lepas dari sikap Presiden dan DPR dalam memilih calon Kapolri. Presiden tetap bersikukuh, DPR ternyata juga meloloskan,” katanya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif