Umum
Senin, 29 Desember 2014 - 19:00 WIB

PESAWAT AIRASIA HILANG : Alvin Lee: Teknologi ATC di Indonesia Sudah Uzur

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi lalu lintas pesawat di bandara (JIBI/Bisnis Indonesia/Paulus Tandi Bone)

Pesawat Airasia hilang bukan hanya karena faktor cuaca, pilot, atau kondisi pesawat. Di luar itu, faktor teknologi di menara Air Traffic Control (ATC) juga sangat berpengaruh.

Solopos.com, SOLO — Pesawat Airasia QZ-8501 rute Surabaya-Singapura menghadapi cuaca buruk berupa awan cumulonimbus sebelum hilang kontak, Minggu (28/12/2014). Namun, pihak menara Air Traffic Controller (ATC) Jakarta tak mendeteksi cuaca yang dihadapi pesawat karena tak ada data radar cuaca (weather radar) yang terlihat di data control.

Advertisement

Pakar penerbangan, Alvin Lee, pun menyebut peralatan ATC di Indonesia sudah uzur dan sudah mendesak untuk dirombak. “Kita harus jujur bahwa peralatan kita sudah uzur. Jadi perlu ada peningkatan. Ini tergantung pemerintah, mau tidak meningkatkan kemampuan radar kita?” kata Alvin dalam dialog yang ditayangkan TV One, Senin (29/12/2014).

Di luar itu, Direktur Safety and Standard Airnavigation Indonesia, Wisnu Darjono, mengakui di layar radar yang terdapat di ATC, tidak terlihat kondisi cuaca yang dihadapi oleh pesawat. Alasannya, citra weather radar tidak bisa dimasukkan ke data control karena bisa membuat target pesawat tak terlihat.

“Di radar tidak terlihat [citra radar cuaca] karena kalau weather radar dimasukkan ke data control, gambarnya dipenuhi blok merah putih, justru target pesawat menjadi tidak terlihat. Kalau ada 10 pesawat yang tumpuk data cuaca ini, akan lebih berbahaya,” katanya Wisnu Darjono dalam jumpa pers di Jakarta, Senin siang.

Advertisement

Sebenarnya setiap pesawat dilengkapi weather radar sehingga bisa melihat cuaca di titik 100 mil di depannya. Karena itu, pilot memiliki waktu yang cukup untuk mencari celah aman jika di depannya terdapat awan cumulonimbus atau pertanda cuaca buruk lain.

“Pilot bisa punya waktu yang cukup mencari celah ke mana yang tidak berbahaya. Itu sebabnya mereka biasa meminta untuk deviasi ke kanan ke kiri.”

Wisnu menjelaskan kontak pertama QZ-8501 terjadi pada Minggu pagi pukul 06.12 WIB. Pilot meminta bergeser ke kiri 7 mil untuk menghindari cuaca buruk dan sudah disetujui oleh ATC. Setelah itu, pilot juga meminta untuk naik ke ketinggian 34.000 kaki dari semula 32.000 kaki. Namun saat ATC memanggil pilot untuk persetujuan, tidak ada jawaban.

Advertisement

Karena tidak ada jawaban, petugas ATC kembali mengontak pilot dan tidak ada jawaban. ATC juga meminta bantuan kepada pilot pesawat Airasia lainnya yang juga terbang saat itu untuk menghubungi QZ-8501 dan tetap tak ada jawaban.

Ada empat pesawat yang terbang di jalur yang sama saat itu, masing-masing di ketinggian 32.000 kaki, 34.000 kaki, 36.000 kaki, dan 38.000 kaki. Pesawat Airasia QZ-8501 terbang paling rendah, yaitu 32.000 kaki.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif