Soloraya
Rabu, 24 Desember 2014 - 23:40 WIB

PEMENTASAN TEATER : Di TBS, Teater Tunanetra Kritik Sistem Pendidikan

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi teater tunanetra (Twitter)

Pementasan teater tunanetra menyuuarakan ketidakadilan bagi kaum difabel.

Solopos.com, SOLO — Teater tunanetra bertajuk Republik Angkringan dipergelarkan di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo, Jawa Tengah, Selasa (23/12/2014) malam. Sebuah gerobak angkringan, dengan meja, dan bangku kayu pun mendukung pementasan teater yang disutradari Wardana Shandi itu.

Advertisement

Cerita dalam pementasan teater itu diawali pemunculan pasangan suami istri yang asyik mengobrol tentang naiknya harga sembako. Pasangan suami istri yang bernama Pak Narto dan Bu Narto kedatangan lima siswa tunanetra sekolah menengah atas (SMA) yang  membolos sekolah. Kelima siswa tersebut terdiri atas Yanti, Nia, Wahid, Fajar, dan Wahyu.

Dengan logat jawa, kelima siswa tunanetra tersebut mengungkapkan dalam pementasan teater itu betapa sistem pendidikan inklusi yang selama ini tak adil terhadap siswa berkebutuhan khusus. “Masak awake dhewe ora weruh ngene kon mbatik?” keluh salah seorang pemain bernama Yanti.

Advertisement

Dengan logat jawa, kelima siswa tunanetra tersebut mengungkapkan dalam pementasan teater itu betapa sistem pendidikan inklusi yang selama ini tak adil terhadap siswa berkebutuhan khusus. “Masak awake dhewe ora weruh ngene kon mbatik?” keluh salah seorang pemain bernama Yanti.

Mereka selanjutnya membahas Kurikulum 2013 yang lagi-lagi dinilai tidak berpihak kepada para difabel. Menurut Fajar salah satu unsur dalam Kurikulum 2013 adalah mengamati, hal itu sangat memberatkan tunanetra. “Piye ngamati? Wong ngamati irunge dhewe wae ora iso, dikon ngamati liyane,” tuturnya.

Dialog yang disertai dengan celotehan para pemain membuat para penonton tak hentinya tertawa. Salah satu adegan yang membuat para penonton terenyuh, ketika salah seorang tunanetra yang datang bersama anak perempuannya bercerita tentang bagaimana ia tak mendapatkan keadilan hukum ketika putrinya menjadi korban pelecehan seksual.

Advertisement

Suara Difabel
Sutradara teater tersebut, Sandhi, memaparkan ide pementasan teater tersebut berawal dari cerita-cerita siswa difabel yang mendapatkan ketidakadilan. “Teater ini memfasilitasi mereka untuk bersuara,” jelas mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS itu saat ditemui wartawan seusai pementasan.

Shandi mengaku terkejut dengan penampilan para pemain yang baru pertama kali bermain teater. “Meskipun salah blocking, tapi akhirnya mereka bisa menguasai panggung,” jelas dia.

Salah satu pemain, Wahyu, siswa SMA 8 Solo membeberkan teater Republik Angkringan menjadi media mereka untuk mengungkapkan apa yang selama ini dirasakan anak inklusi. “Inklusi di Indonesia hanya labelnya, tetapi yang kami butuhkan belum ada,” kata dia.

Advertisement

Selain itu Wahyu menuturkan melalui pementasan teater itu, ia ingin tunanetra lainnya bisa mengembangkan potensi yang mereka miliki, khususnya di bidang kesenian. “Kalau hanya diam di asrama, mereka tidak akan berkembang,” ujarnya.

 

 

Advertisement

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif