Jogja
Selasa, 23 Desember 2014 - 08:43 WIB

HARI IBU : Apa Makna Ibu Bagi Pedagang Pasar?

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Foto ilustrasi buruh gendong yang tetap bekerja di usia senja. (HARIAN JOGJA/DESI SURYANTO)

HARI IBU pada 22 Desember diperingati dengan beragam cara oleh kaum perempuan di Kota Jogja, termasuk di Pasar Talok.

Harianjogja.com, JOGJA-Perempuan pedagang di Pasar Talok, Kota Jogja merayakan Hari Ibu yang jatuh pada Senin (22/12/2014) dengan mengenakan kebaya dan kain jarik.

Advertisement

Salah seorang pedagang, Nurhayati, terlihat segar dengan kebaya berbahan brokat, berwarna peach. Bawahan yang ia kenakan merupakan kain batik berwarna cokelat.

Ia mengatakan, tak ada rasa kesulitan atau ribet saat mengenakan setelan seperti itu sembari melayani pembeli. Sudah terbiasa dia berdandan seperti itu. Perempuan yang tinggal di Jl.Taman Siswa itu mengaku mengenakan kebaya yang sudah tua, bahkan lebih tua dari usianya sendiri.

Advertisement

Ia mengatakan, tak ada rasa kesulitan atau ribet saat mengenakan setelan seperti itu sembari melayani pembeli. Sudah terbiasa dia berdandan seperti itu. Perempuan yang tinggal di Jl.Taman Siswa itu mengaku mengenakan kebaya yang sudah tua, bahkan lebih tua dari usianya sendiri.

“Kebaya ini sudah berusia 45 tahun, warisan dari ibu saya. Saya sendiri berusia 38 tahun,” ujarnya, Senin.

Kebaya itu memang tampak kebesaran di badannya yang mungil. Nurhayati mengisahkan kemarin ia diperlakukan spesial oleh suami dan anaknya.

Advertisement

Ia memaknai, ibu adalah sosok pencetak anak bangsa, mengayomi, mendidik anak. Berjasa begitu besar tanpa lelah dan tanpa meminta balas budi.

Pedagang yang lain, Indrawati, pagi itu juga mengenakan kebaya simpel berwarna hijau pupus yang lembut. Biasanya, ia berdagang hanya mengenakan kaus biasa, juga tanpa berdandan. Namun khusus hari itu, ia juga memoles wajahnya dengan make up tipis. Kebaya yang ia kenakan adalah milik ibunya, sebetulnya ia merasa gerah.

“Tapi saya merasa cantik dengan kebaya, sesekali tidak apa-apa. Pesan saya di Hari Ibu, kalau ibu kita salah sedikit biarkan saja, jangan dimarah atau diomelin, kita waktu kecil kan juga nakal seperti itu,” tuturnya.

Advertisement

Sementara, di luar pasar, Herminanto, salah seorang pengunjung pasar, memaknai kehadiran seorang ibu sembari mengenang mendiang ibunda yang kini hanya bisa peluk lewat batu nisan.

Ibunda Herminanto, berpulang ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa sekitar tiga tahun yang lalu.

Baginya, ibu adalah segalanya. Tanpa kehadiran seorang ibu, maka ia juga tak ada di muka bumi. Warga Gejayan ini mengungkapkan betapa kalimat yang diucapkan seorang ibu layaknya doa, yang bisa dibuktikan terjadi.

Advertisement

“Sayangilah ibu kalian, hargailah ibumu. Nikmati masa-masa di mana kalian dimarahi, ditegur, disayang-sayang, itu semua yang kelak akan kalian ceritakan kepada anak cucu kalian,” pesan lelaki yang lahir 26 tahun lalu itu.

Ditemui di sela kesibukannya menyapa para pedagang, Sri Sudiyanti, Ketua Paguyuban Pasar Talok Sido Rahayu menyatakan mengenakan pakaian tradisional kebaya tak hanya disengaja untuk menyambut hari ibu. Dandanan itu juga sebuah kebiasaan dalam menyambut hari khusus nasional. Misalnya Hari Kartini, sarasehan, juga tradisi Kamis Pahing.

Selain para ibu mengenakan kebaya, para laki-laki yang berdagang juga menggunakan pakaian tradisional Jawa, seperti lurik.

Peringatan Hari Ibu oleh para pedagang juga dilengkapi dengan menyanyi campursari, lomba joget, lomba mewiru kain, serta pemberian santunan bagi pengunjung yang berusia di atas 75 tahun. Ketika yang menjadi peserta lomba adalah ibu-ibu, bapak-bapak mengambil peran sebagai juri.

“Tujuan agenda hari ini supaya kami sesama pedagang bisa saling asah asuh asih antar pengunjung dan masyarakat. Diharapkan bisa menarik minat pengunjung untuk datang dan meningkatkan jumlah transaksi di pasar tradisional,” ujar Sri.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif