News
Selasa, 23 Desember 2014 - 07:49 WIB

BENCANA NASIONAL : 90% Bencana Indonesia Adalah Hidrometeorologi

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah personel SAR dan Tagana mengevakuasi korban longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, Sabtu (13/12/2014). Bencana tanah longsor itu menimbun setidaknya 40 rumah di desa itu pada Jumat (12/12/2014) sore. Tim SAR telah berhasil menemukan 19 jenazah dan puluhan lainnya masih belum ditemukan. (JIBI/Solopos/Antara/Idhad Zakaria)

Solopos.com, JAKARTA — Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan lebih dari 90% bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi yakni banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, cuaca ekstrem, dan kebakaran hutan lahan.

Dan jika melihat sesuai pola kejadian di Indonesia, Januari merupakan puncak kejadian bencana karena bencana hidrometeorologi berkorelasi positif dengan curah hujan yang selalu puncaknya jatuh pada Januari.

Advertisement

Menurutnya, sebagian besar wilayah Indonesia memiliki pola puncak hujan pada Januari. Selama Desember-Maret, hujan akan tinggi sehingga pada bulan ini banyak banjir, longsor, dan puting beliung. “Di Indonesia, rata-rata kejadian bencana 1.295 kejadian per tahunnya,” katanya

Ada tiga wilayah yang paling banyak mengalami bencana, yakni daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur karena faktor populasi penduduk yang banyak di daerah ini.

Adapun bencana hidrometeorologi tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi akumulasi dan interaksi dari berbagai faktor seperti sosial, ekonomi, degradasi lingkungan, urbanisasi, kemiskinan, dan tata ruang. “Seperti banjir yang sering terjadi di daerah Dayeuhkolot, Baleendah, dan daerah lainnya di Bandung Selatan,” imbuhnya.

Advertisement

Banjir serupa pernah terjadi pada 1931 karena wilayah tersebut merupakan Cekungan Bandung seperti mangkok di DAS Citarum. Banjir serupa persis terjadi pada 19 Februari 2014. Hal yang sama juga terjadi di banjir Bojonegoro, Tuban, Gresik, Cilacap, dan sebagainya yang saat ini juga dilanda banjir.

Sutopo menjelaskan dengan bertambahnya penduduk yang akhirnya tinggal di daerah rawan bencana merupakan konsekuensi dari lemahnya implementasi tata ruang dan penegakan hukum. Akibatnya, kawasan industri dibangun pada daerah-daerah rawan bencana. “Masyarakat dibiarkan tinggal di daerah rawan banjir dan longsor tanpa ada proteksi yang memadai,” imbuhnya.

Banjir dan longsor sebenarnya adalah bencana yang dapat diminimalisir risikonya. Sebab bisa diketahui polanya dimana dan apa yang harus dilakukan untuk pencegaha. Kunci utama ada pada mitigasi struktural dan nonstruktural komprehensif, penataan ruang, dan penegakan hukum.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif