Jogja
Jumat, 12 Desember 2014 - 15:40 WIB

PERTANIAN KULONPROGO : Sepuluh Tahun Jumlah Petani Turun 6,52%

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - ilustrasi (JIBI/dok)

Harianjogja.com, KULONPROGO – Sebagai salah satu lumbung padi terbesar DIY, jumlah petani di Kulonprogo justru kian menurun. Berdasarkan data survei pertanian 2013, ada penurunan jumlah usaha rumah tangga petani mencapai 6,52% dalam kurun waktu sepuluh tahun.

Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kulonprogo Bambang Tri Budi Harsono mengungkapkan, dari tahun 2003 hingga 2013, jumlah usaha
rumah tangga petani turun dari 94.860 rumah tangga menjadi 88.680 rumah tangga.

Advertisement

“Usaha pertanian di Kulonprogo didominasi oleh jenis usaha rumah tangga. Berdasarkan ST2013 ada penurunan 6,52 persen,” ujar Bambang
kepada Harianjogja.com saat ditemui di kantornya, Kamis (11/12/2014).

Penurunan jumlah petani di kabupaten ini salah satunya disebabkan pertumbuhan ekonomi. Bambang menjelaskan, perkembangan ekonomi di
berbagai sektor dan meningkatnya iklim investasi dan berdampak pada pertanian.

“Tidak dipungkiri, jumlah petani secara otomatis ikut berkurang,” kata Bambang.

Advertisement

Berdasarkan data survei pertanian, dari 12 kecamatan di Kulonprogo, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kecamatan Sentolo mengalami
penurunan yang cukup tinggi. Penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian di kecamatan tersebut mencapai 13,87%. Pada ST2003,
tercatat jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 10.348 rumah tangga. Sedangkan pendataan pada ST2013 turun menjadi 8.913 rumah
tangga.

Kepala Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian dan Kehutanan (KP4K) Kulonprogo Maman Sugiri menambahkan, data jumlah petani
yang ada saat ini ada sekitar 135.000 orang. Dia mengungkapkan adanya kawasan industri Sentolo menjadi salah penyebab berkurangnya
petani di daerah tersebut.

“Data dari BPS ternyata juga cukup mengagetkan. Ternyata banyak petani yang beralih dari pertanian ke non-pertanian. Terutama banyak
terjadi di Sentolo, karena ada kawasan industri yang menyebabkan petani di sana semakin berkurang jumlahnya,” tandas Maman.

Advertisement

Regenerasi petani yang mengolah lahan padi dan palawija kini semakin berat. Maman mengungkapkan, hampir semua petani yang menanam
komoditas itu merupakan generasi muda. Sedangkan generasi muda banyak yang tidak tertarik untuk menggarap sawah.

“Kecuali [generasi muda] yang di hortikultura. Banyak dari mereka yang ke agribisnis. Maka, perlu adanya mekanisasi untuk mengantisipasi
kekurangan tenaga kerja,” imbuh Maman.

Sementara itu, Bambang menambahkan, mekanisasi yakni melalui penggunaan teknologi pertanian secara optimal. Mekanisasi yang dilakukan
yakni pengolahan lahan dapat dioptimalkan dengan traktor roda empat, regu tanam dapat memaksimal transplanter atau alat untuk menanam
padi. Sedangkan regu panen, diharapkan tidak lagi menggunakan perontok padi secara manual, tetapi menggunakan Thresher bermesin.

“Tapi pengoptimalan mekanisasi ini masih terkendala banyak hal. Antara lain persawahan yang masih berpetak-petak agak menyulitkan
penerapan peralatan pertanian tersebut. Harapannya ke depan dapat bisa diwujudkan pengelolan pertanian secara modern,” tandas Bambang.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif