News
Senin, 8 Desember 2014 - 05:31 WIB

NASIB TENAGA HONORER : Upah GTT Tak Boleh Lebihi 20% Dana BOS...

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ratusan guru tidak tetap (GTT) beraudiensi dengan Bupati Wonogiri, Danar Rahmanto dan pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri di Pendapa Rumah Dinas Bupati Wonogiri, Rabu (19/11/2014). (Bony Eko Wicaksono/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Nasib guru tidak tetap dan guru honorer terkatung-katung setelah ada regulasi melarang pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil. Regulasi itu juga melarang APBD membayar honor guru tidak tetap.

Padahal, peluang meningkatkan upah guru tidak tetap (GTT) agar layak kebutuhan hidup minimal hanyalah dengan mengangkat mereka menjadi pegawai negeri (PNS) atau ada bantuan dana dari APBN dan APBD untuk honor mereka. Alhasil, nasib tenaga honorer semakin memprihatinkan.

Advertisement

Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan mengatakan akan mengatur gaji standar untuk guru tidak tetap (GTT) dan guru honorer di Indonesia. Sebagaimana diberitakan banyak media massa pada akhir November lalu, Anies menuturkan sudah bertemu dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi untuk membicarakan hal tersebut.

Menurut dia, standar upah perlu dibuat khususnya untuk guru kontrak. ”Buruh saja ada upah minimumnya, masak guru enggak,” kata Anies, Selasa, 25 November 2014, di Jakarta, sebagaimana diberitakan banyak  media massa, termasuk Solopos. Di daerah, kata dia, banyak guru kontrak yang hanya dibayar Rp300.000 per bulan.

Upah demikian tidak sebanding dengan pengorbanan mereka.
Ia menuturkan masih menyusun formula yang pas untuk menentukan nilai upah layak. Anies berharap guru kontrak [GTT dan honorer] dapat hidup layak.

Advertisement

Banyak GTT dan guru honorer berharap mendapat penghargaan atas kinerja mereka dengan diangkat menjadi guru berstatus PNS. Namun, harapan mereka terbentur Pasal 8 Peraturan Pemerintah (PP) No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil

PP tersebut beberapa kali direvisi, seperti pada PP No. 43/2007 dan PP No. 56/2012. Pasal 8 tersebut berbunyi: sejak ditetapkannya peraturan pemerintah ini, semua pejabat pembina kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan peraturan pemerintah.”

Berdasar PP tersebut dan PP yang merevisinya, penegasan larangan mengangkat tenaga honorer masih tetap diberlakukan. Ketentuan tersebut kembali ditegaskan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan Surat Edaran (SE) Mendagri No. 814.1/169/SJ pada 10 Januari 2013.

Konsekuensinya, pemerintah tidak akan mengangkat tenaga honorer atau yang sejenisnya menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Ketentuan ini yang menjadi hambatan pengangkatan GTT atau guru honorer menjadi PNS.

Advertisement

GTT Dibutuhkan
Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Boyolali, Darmanto, saat ditemui Solopos.com di ruang kerjanya, Kamis (4/12/2014), mengatakan setelah adanya PP dan SE tersebut nasib GTT menjadi terkatung-katung.

Pemerintah daerah tak bisa membayar honor mereka dengan APBD karena bertentangan dengan regulasi tersebut, padahal faktual dunia pendidikan sangat membutuhkan GTT dan guru honorer untuk mengisi posisi guru berstatus PNS yang pensiun atau meninggal dunia.

”Di Boyolali ada sekitar 6.000 GTT. Istilahnya bukan guru honorer. Kalau guru honorer itu diangkat oleh bupati dan jajaran di bawahnyanya. Para GTT ini diangkat dengan surat keputusan (SK) kepala sekolah,” kata Darmanto.

Ia mengatakan gaji GTT terhitung sangat rendah, jauh di bawah upah minimum kabupaten (UMK). GTT hanya digaji dari dana bantuan operasional sekolah (BOS). Sekolah atau komite sekolah tak bisa menggaji GTT karena pemerintah melarang pungutan apa pun kepada peserta didik, orang tua, dan wali mereka.

Advertisement

Ketentuan tentang hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 60/2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan di SD dan SMP.

Darmanto menjelaskan sesuai Permendikbud No. 101/2013 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional Sekolah Tahun Anggaran 2014, sekolah hanya boleh menggunakan maksimal 20% dana BOS untuk menggaji GTT.

”Dana BOS untuk SD adalah Rp580.000 per siswa per tahun. Sedangkan dana BOS untuk SMP adalah Rp710.000 per siswa per tahun. Misalnya sekolah menerima dana BOS Rp60 juta, hanya maksimal Rp12 juta untuk menggaji GTT. Berapa jumlah GTT yang ada di sekolah tersebut ya honor mereka tetap itu,” kata dia.

Menurut Darmanto, berat bagi Pemkab Boyolali untuk memberikan gaji setara UMK kepada 6.000-an GTT. Seandainya GTT mendapat gaji Rp1 juta per bulan, berarti mereka butuh dana APBD senilai Rp72 miliar.

Advertisement

”Kondisi saat ini menunjukkan APBD didominasi belanja pegawai yang sangat besar [tak mungkin ditambah alokasi dana untuk honor GTT dengan upah minimal setara UMK],” ujar dia.

Memberatkan Daerah
Sekretaris Komisi IV DPRD Boyolali, Agus Ali Rosidi, mengatakan jika gaji GTT dibebankan kepada APBD jelas memberatkan daerah, APBD Boyolali takkan sanggup menanggungnya. Menurut Agus, pemerintah pusat harus ikut serta menopang gaji GTT agar mereka mendapat upah yang layak.

”Saat ini, lebih dari 60 persen dana APBD Boyolali tersedot untuk belanja pegawai. Tanpa campur tangan pemerintah pusat, mustahil kesejahteraan GTT bisa meningkat. Campur tangan pemerintah pusat itu misalnya dengan penambahan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk gaji GTT itu,” kata politikus Partai Golkar Boyolali tersebut saat ditemui Solopos.com di kantornya, Rabu (3/12/2014).

Agus mengaku prihatin dengan kondisi GTT di Boyoalli. Selain mendapat gaji tak seberapa, menurut informasi yang ia dapat, beberapa GTT, justru ”diperbudak” oleh guru yang berstatus PNS.

”Dana tunjangan kesejahteraan untuk tenaga honorer kategori dua atau K2 sudah masuk pembahasan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Boyolali bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Alokasi dana untuk honorer K2 sudah muncul di Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara ( PPAS) APBD 2015,” kata dia.

Salah seorang kepala SMP negeri di Boyolali yang enggan disebut identitasnya mengatakan para GTT yang bekerja di sekolah itu digaji sesuai jumlah jam mengajar, masa kerja, dan tunjangan fungsional. Mereka mendapat gaji dari 20% dana BOS yang didapat sekolah itu.

Advertisement

”Ada lima GTT di sini. Ada yang mengajar 16 jam sepekan dan mendapat gaji Rp570.000 sebulan. Ada yang mengajar 24 jam sepekan dan digaji Rp710.000 per bulan. Terus terang, itu jadi tanggung jawab moral kami. Sekolahan juga bingung. Kalau yang sekolahan, uang dari mana?” kata sumber Solopos.com ini.

Menurut sumber Solopos.com ini, guru berstatus PNS yang mendapat tunjangan sertifikasi tak mendiamkan keadaan begitu itu. Biasanya, setelah mendapatkan dana tunjangan sertifikasi, mereka secara sukarela mengumpulkan uang tali asih yang selanjutnya dibagikan kepada lima GTT di sekolah itu.

Andalkan BOS
Kepala SDN Bulukantil, Jebres, Solo, Maryanto, mengatakan terdapat seorang GTT yang mengajar Bahasa Inggris di SD tersebut. Selain mengajar di SD itu, GTT itu juga mengajar di sebuah SMA swasta di Kota Solo.

”Kami melaporkan adanya GTT di sekolah kami [kepada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahrga Kota Solo]. Untuk honor GTT itu berapa saya kurang paham. Itu bendahara yang tahu,” kata dia kepada Solopos.com pekan lalu.

Kepala SDN Pucangsawit No. 119 Solo, Suwarto, mengatakan ada lima orang GTT yang bekerja di sekolahnya. Namun, ia tak bersedia menjelaskan gaji yang diberikan kepada para GTT kepada Solopos.com. Alasannya, hal itu adalah urusan privasi sekolahan.

”Mereka [GTT] mendapat gaji dari dana BOS. Mereka penting bagi kami. Saya berharap mereka lebih diperhatikan pemerintah,” ujar Suwarto.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif