News
Kamis, 4 Desember 2014 - 21:30 WIB

KASUS MUNIR : Rekonsiliasi Kasus HAM, Menko Polhukam Dikecam

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mantan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno (JIBI/Solopos/Antara/Prasetyo Utomo)

Solopos.com, JAKARTA — Penyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Tedjo Edhy Purdijatno, terkait gagasan rekonsiliasi penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dinilai bisa mengubur harapan keluarga korban soal penuntasan kasus HAM di masa lalu.

Dalam pernyataannya, Tedjo meminta agar masyarakat tidak lagi melihat ke belakang dan mencari pihak-pihak yang bersalah. Tedjo juga mengakui bahwa pemerintah belum memberikan prioritas dalam penanganan tujuh kasus pelanggaran HAM.

Advertisement

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, mengatakan pernyataan Tedjo itu bisa mengubur harapan keluarga korban HAM di masa lalu. “Tidak bisa begitu saja melupakan kejahatan HAM masa lalu,” katanya kepada Bisnis/JIBI, Kamis (4/12/2014).

Pernyataan itu juga menggambarkan ketidaktahuan Tedjo terkait penyelesaian pelanggaran HAM yang bisa diselesaikan dengan dua mekanisme, yaitu di jalur peradilan dan di luar peradilan. “Tedjo sebaiknya tidak perlu banyak komentar jika tidak memahami duduk soalnya. Pernyataan itu sangat melukai korban dan keluarga korban.”

Sementara itu, Ketua Setara Institute, Hendardi, mengecam pernyataan Tedjo. “Dengan pernyataan itu bisa diartikan bahwa Tedjo tidak mempunyai memiliki pengetahuan cukup tentang HAM dan prinsip tanggung jawab negara,” katanya dalam siaran pers, Kamis.

Advertisement

Selain itu, pernyataan itu juga menggambarkan sikap pemerintah yang tidak memiliki itikad, komitmen, dan rencana perlindungan HAM sebagaimana dijanjikan oleh presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) saat kampanye.

Menurutnya, mengadili pelanggaran HAM masa lalu adalah tugas konstitusional dan legal yang melekat pada pemerintah. Pemerintah memiliki kendali terhadap aparat penegak hukum siapapun presidennya. Hal itu sesuai dengan mandat UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

“Jadi sangat keliru jika dorongan penyelesaian pelanggaran HAM itu adalah rencana pemerintahan sebelumnya,” katanya. Bahkan, jelasnya, untuk kasus penculikan sudah direkomendasikan oleh DPR sejak 2009 agar pemerintah membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc dan mulai memeriksa perkara penghilangan orang tersebut

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif