Soloraya
Rabu, 26 November 2014 - 02:31 WIB

Di Solo, 11 Bulan Ada 56 Kasus Kekerasan Terhadap Anak

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi kekerasan terhadap anak (JIBI/Solopos/Dok.)

Solopos.com, SOLO—Tren kasus kekerasan terhadap anak di Kota Solo mengalami kenaikan. Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas P3A dan KB) Solo mencatat angka kasus kekerasan anak hingga November mencapai 56 kasus.

Sementara sepanjang 2013 lalu, angka kasus kekerasan anak hanya mencapai 40 kasus. Kepala Bapermas P3A dan KB, Anung Indro Susanto ketika dijumpai Solopos.com, Selasa (25/11/2014), menuturkan meningkatnya angka kasus kekerasan terhadap anak karena beberapa faktor.

Advertisement

Namun, menurutnya, hal ini lebih dipengaruhi karena tingkat kesadaran warga dalam melaporkan kasus tersebut.

“Selama ini banyak kasus yang tidak terungkap karena harus mengadu ke mana. Tapi dengan banyaknya lembaga yang peduli dengan kasus kekerasan ini, maka tingkat kesadaran untuk melaporkan meningkat,” katanya.

Anung menuturkan pelaku kekerasan terhadap anak bisa datang dari lingkungan keluarga maupun sekolah. Kekerasan anak bisa berbentuk kekerasan fisik maupun mental. Bahkan, lanjutnya, kekerasan seksual juga mengingai anak-anak.

Advertisement

Meskipun, diakui Anung, belum ada laporan mengenai kekerasan seksual terhadap anak di Solo. Namun pihaknya terus melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Menurut Anung, Solo harus bebas dari kasus kekerasan terhadap anak untuk menunju predikat Kota Layak Anak (KLA).

Pemkot kini tengah mengejar predikat utama sebelum ditetapkan sebagai KLA. “Ada lima tahapan peringkat sebuah kota/kabupaten bisa ditetapkan sebagai kota layak anak. Lima tahapan itu dimulai pratama, madya, nindya, utama dan KLA. Sedangkan saat ini posisi KotaSolo sudah mencapai predikat nindya,” katanya.

Kepala Pusat Studi Kesehatan Reproduksi Anak, Univesitas Sebelas Maret (UNS), Istar Yuliadi menuturkan banyaknya kasus penyimpangan seksual terhadap anak ditengarai sebagai akibat pendidikan seks yang kurang tepat di usia bawah lima tahun (Balita).

Advertisement

Oleh karena itu, dia menilai para guru PAUD diharapkan mampu mengenali lebih awal gejala penyimpangan seksual pada anak. Idealnya, dia mengatakan pembelajaran anak di PAUD juga harus didampingi oleh orangtua, khususnya ibu.

Dengan demikian, ada interaksi antara anak, guru, dan orangtua. “Guru diharapkan mampu mengenai disorientasi seksual para peserta didiknya, di antaranya kebiasaan suka mengintip, berlaku berlebihan, sadisme, dan lainnya,” tuturnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif