News
Selasa, 25 November 2014 - 14:02 WIB

TES KEPERAWANAN POLRI : PSKK UGM: Polri Melindungi Perempuan Tapi Bikin Tes Keperawanan

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Polwan (Dok/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Isu tentang masih adanya tes keperawanan di lingkungan Polri terus menuai kritik. Pusat Studi Kependudukan & Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) menyatakan penolakannya terhadap tes keperawanan yang diyakini masih dipertahankan kepolisian.

PSKK UGM mengutip laporan Human Right Watch yang menyebutkan tes keperawanan ini masih dijalankan oleh kepolisian meskipun secara formal sudah dihapuskan sejak era reformasi. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan trauma dan menjadi pengalaman buruk bagi perempuan yang mengikuti seleksi polwan.

Advertisement

“Ini sesuatu yang sangat ironis. Saat sebuah institusi yang salah satu mandatnya adalah memberikan perlindungan terhadap perempuan, tapi justru melakukan praktik yang represif terhadap perempuan. Jika melihat institusi kepolisian sebagai kepanjangan tangan negara, maka praktik diskriminasi terhadap perempuan itu dilakukan dengan restu dari negara,” kata pemerhati isu gender sekaligus peneliti PSKK UGM, Dr. Dewi Haryani Susilastuti, dalam siaran persnya, Selasa (25/11/2014).

Dewi Haryani Susilastuti menduga institusi Polri tidak benar-benar paham maksud tes keperawanan itu. Menurutnya, praktik tersebut menunjukkan kerasnya budaya yang meminggirkan dan merendahkan perempuan.

“Status seorang perempuan seolah-olah ditentukan apakah dia masih perawan atau tidak. Bukan ditentukan oleh talenta, kapasitas, dan kecerdasan berpikirnya. Bukan juga ditentukan oleh sumbangsih yang bisa dia berikan bagi lingkungan paling kecil sampai ke lingkungan yang paling besar,” katanya.

Advertisement

Hal ini ironis mengingat Polri juga memiliki unit pelayanan bagi perempuan dan anak hingga ke tingkat Polres dan Polresta. Peningkatan jumlah unit layanan tersebut belum diikuti dengan meningkatnya kualitas pelayanan. Staf di unit-unit tersebut dinilai tidak sensitif gender dan belum mendapat pelatihan memadai.

“Saya kira lembaga atau unit layanan yang sudah matang dalam jumlah ini juga kurang diikuti dengan kampanye yang gencar. Misalnya, diseminasi informasi tentang isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat bisa tahu unit layanan apa saja yang tersedia, hingga bagaimana cara mengaksesnya, siapa yang harus dihubungi, dan lain sebagainya,” kata Dewi.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif