Entertainment
Minggu, 23 November 2014 - 13:20 WIB

NGAYOGJAZZ 2014 : Pesta Musik dengan Tung Tak Tung Jazz

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto Kelompok musisi jazz Danny Eriawan Project tampil menghibur penonton dalam Ngayogjazz 2014 yang digelar di Desa Wisata Brayut, Pendowoharjo, Sleman, DI. Yogyakarta, Sabtu (22/11/2014). Meski sempat diguyur hujan, tak menyurutkan minat para pecinta musik jazz untuk datang dan menikmati musik jazz. Bilamana hujan, penonton diharapkan tidak menggunakan payung saat menonton konser, lebih disarankan mengenakan jas hujan atau ponco agar tidak meutupi padangan penonton dibelakangnya.

Harianjogja.com, SLEMAN-Tung tak tung jazz. Tiruan bunyi kendang dan simbal yang dilisankan terus didengungkan di seluruh penjuru Desa Wisata Brayut, Sleman. Desa itu benar-benar berpesta. Puluhan musisi yang menjadi bintang, benar-benar melebur bersama penonton dari berbagai kalangan. Seperti apa keseruan yang terjadi di acara bertajuk Ngayogjazz 2014 itu?

Sejak siang, lima panggung yang tersebar di seluruh penjuru kawasan Desa Wisata Brayut sudah padat pengunjung.Mendung tebal berbalut hujan deras, Sabtu (22/11/2014) siang itu tak menghalangi antusiasme mereka menyaksikan musisi per musisi yang tampil.

Advertisement

Dibuka oleh seniman Jogja Sujud Kendang yang memimpin arak-arakan bergodo dan gerobak sapi, para penonton perlahan datang memadati Desa Wisata Brayut. Meski kebanyakan dari mereka adalah bukan mania musik jazz namun, tetap saja, mereka terlihat serempak untuk merapat ke panggung yang sengaja diset sederhana.

Seperti pada Ngayogjazz tahun-tahun sebelumnya, kelima panggung itu sengaja dibangun dengan sangat sederhana. Dengan memanfaatkan teras rumah hingga pendopo milik warga, set panggung sudah berhasil menjadi arena para musisi untuk menunjukkan kemampuan bermusiknya. Hanya dua  panggung yang diset dengan perlengkapan lengkap. Namun kesan sederhana dan natural tetap
terasa lantaran pangggung itu didirikan di halaman rumah warga.

Begitu juga dengan para penonton. Kesan sederhana, spontan dan natural lantaran untuk mereka tak ada tribun atau kursi untuk mereka. Hanya ada beberapa bilah bambu yang dipasang sekadarnya untuk menampung beberapa penonton saja. Tanpa jarak. Itulah kesan yang muncul dari setiap panggung. Siapapun musisi yang tampil, mereka seolah tak berjarak dengan penontonnya. DalamNgayogjazz, musik jazz bukan hanya jadi milik para musisinya dan segelintir penikmat musik jazz saja. Dalam acara itu, musisi dan
ibuan penonton melebur menjadi satu.

Advertisement

“Jazz itu bukan musik yang ‘mewah’. Inilah buktinya. Siapapun musisinya, bagaimanapun musiknya, tak ada jarak antara musisi dan penontonnya,” ucap Production Manager Ngayogjazz Novindra Diratama kepada Harianjogja.com, di sela-sela acara, Sabtu (22/11/2014) sore.

Contohnya adalah ketika band Jazz asal Jogja Everyday tampil. Dengan berkolaborasi bersama Dimas, seorang penabuh kendang muda, Everyday tampil dengan tema ninety. Beberapa lagu yang populer di era 1990-an, mereka bawakan dengan aransemen yang lebih baru. Mereka mencoba mengaransemen ulang lagu-lagu macam Bocah (Slank), Zamrud Khatulistiwa (Chrisye) dan beberapa lagu 1990-an lainnya dengan aransemen yang lebih jazzy.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif