Lifestyle
Minggu, 16 November 2014 - 18:30 WIB

KULINER SOLO : Kenyalnya Mi Tarik Goda Lidah Wong Solo

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pembuatan mi tarik di Kedai Mie Tarik Mas Doel (Farid Syafrodhi/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Brand mi Solo ataupun mi Boyolali kondang dan digemari warga luar Solo di pelbagai wilayah Indonesia. Di Solo sendiri, ada mi tarik yang disajikan dengan berbagai variasi dan tetap mengedepankan aroma dari negeri asalnya.

Abdullah, 24, pemilik warung Mie Tarik Mas Doel, ditemui Solopos.com kala mengambil setangkup tangan adonan dari dalam almari es. Adonan tepung terigu itu masih terbungkus plastik bening.

Advertisement

Dia lalu memijat-mijat adonan yang diletakkan di batu marmer dengan lebar serentangan dua tangan, melumurinya dengan minyak sayur, mengulur-ulurnya, membagi adonan menjadi tiga bagian, lalu menaruhnya di atas marmer abu-abu lagi. Sembari mengistirahatkan adonan, dia mempersiapkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan untuk membuat mi tarik jadi hidangan. Tak berapa lama, dia kembali menghampiri adonannya.

Dia mengulur dan menarik adonan tepung terigu tersebut jadi serentangan tangannya. Kadang kala, dia taruh pelan adonan di marmer yang sudah ditaburi tepung terigu terigu. Abdullah menariknya kembali, lalu melipat. Begitu seterusnya dia lakukan hingga adonan tersebut berubah menjadi mi lonjong dan panjang.

Advertisement

Dia mengulur dan menarik adonan tepung terigu tersebut jadi serentangan tangannya. Kadang kala, dia taruh pelan adonan di marmer yang sudah ditaburi tepung terigu terigu. Abdullah menariknya kembali, lalu melipat. Begitu seterusnya dia lakukan hingga adonan tersebut berubah menjadi mi lonjong dan panjang.

Atraksi seperti itu akan selalu dia ulang bila ada pembeli yang memesan mi tarik. Namanya juga mi tarik, jadi pembuatannya pun juga harus ditarik. Abdullah sudah dua tahun terakhir jualan mi tarik di warungnya di salah satu kios Jl. Wiropaten atau gang sebelah utara Rumah Sakit (RS) Kustati Unit II di Pasar Kliwon, Solo.

Selain membuat mi tarik dengan bentuk standar, dia juga mahir memuat mi tarik pipih seperti kwetiaw. “Kalau minya sudah jadi dan tinggal masak, rasanya kurang kenyal. Kelebihan mi tarik kan lebih kenyal ketimbang mi yang dibuat dari pabrik. Bahkan bisa lebih kenyal dari pada pasta,” kata Abdullah saat ditemui Solopos.com di warungnya, di pengujung Oktoner 2014.

Advertisement

Aroma irisan daun bawang juga menyeruak harum. Padahal, saat  memasak, dia tidak memakai bawang merah dan bawang putih. “Saya pakai bumbu impor yang saya beli dari Jakarta. Saya juga tidak tahu bumbunya itu terdiri atas bahan apa saja, karena sudah berbentuk bubuk,” ujar Abdullah yang selama lebih dari setahun belajar membuat mi tarik dari seorang keturunan Tionghoa muslim di Jakarta Pusat.

Dia pun menjamin bahwa mi dan bahan lain yang dia pakai untuk sajian mi tarik adalah halal. Lain lagi dengan mi tarik yang ditawarkan di King’s La Mian di Jl. Yos Sudarso No. 296 atau dekat simpang empat Dawung, Solo. Mi di kedai ini  disajikan dengan irisan daging sapi pilihan, daun sawi sendok dan bumbu khas lainnya.

Kedai yang baru buka pada Juli 2014 lalu ini meyajikan empat menu andalan, yakni mi tarik kuah dan goreng daging sapi serta mi potong goreng dan kuah daging sapi. Ada juga menu khas Tiongkok lainnya, seperti ayam rebus nasi hainan.

Advertisement

Pemilik King’s La Mian, Wang Chao Xue, mengatakan keistimewaan dari mi tarik di kedainya yakni tanpa bahan pengawet. Selain itu, semua sajian mi tarik juga disajikan secara segar. Bila ada pengunjung yang order mi tarik, langsung dibuatkan saat itu juga.

Kedai King’s La Mian juga hanya memakai daging sapi sebagai pelengkap mi karena mempertahankan rasa asli mi tarik. “Pembelinya banyak yang muslim, jadi kami pakai daging sapi dan tidak pakai daging ayam juga,”  ujar Wang yang akrab disapa Willy ini.

Menurut Willy, mi yang asli dari Tiongkok memang dibuat secara tanpa alat dengan cara ditarik atau la mian. Lain lagi dengan mi dari Jepang atau sering disebut ramen yang dibuat dengan peralatan modern pabrik, bukan manual pakai tangan. “Kalau mi Jepang tinggal masak karena sudah jadi. Tapi kalau la mian ada atraksi untuk membuat mi,” kata Willy saat ditemui di kedainya, akhir Oktober 2014 lalu.

Advertisement

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif