Soloraya
Kamis, 13 November 2014 - 03:30 WIB

TARI CRY JAILOLO : Alam Jailolo Menjerit di TBS Solo

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Penari menarikan tari Cry Jailolo di pentas Teater Arena, Taman Budaya Surakarta (TBS), Solo, Jawa Tengah, Selasa (11/11/2014) malam. Tari garapan koreografer Eko Supriyanto tersebut terinspirasi kehidupan budaya Suku Sahu di Jailolo, Halmahera Barat. (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Cry Jailolo yang merupakan tari wujud keprihatinan atas rusaknya alam bawah laut karena praktik pengeboman dipentaskan di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo, Selasa (11/11/2014) malam.

Dalam hening dan gelap, terdengar suara ketukan kaki ritmis. Saat lampu utama mulai menyala, terlihat seorang penari bercelana merah darah sedang memainkan kedua kakinya. Tumit kaki sebelah kirinya diketukkan ke lantai dua kali. Setelah itu telapak kaki sebelah kanannya menyambut gerakan tersebut dengan menjejak sangat cepat.

Advertisement

Gerakan derap kaki tersebut mengawali penampilan enam penari lelaki lainnya untuk tampil dengan gerakan serupa. Ketika musik digital garapan Setyawan Jayantoto diputar, mereka mulai menari dengan menggerakkan bergantian tangannya ke kiri dan ke kanan.

Begitulah penampilan pembuka dalam tari Cry Jailolo karya Eko “Pece” Supriyanto yang dipentaskan di Teater Arena TBS Solo, Selasa malam. Tujuh penari yang terdiri atas Veyndi Dangsa, Greatsia Yobel Yunga, Fernandito Wangelaha, Gerry Gerardo Bella, Noveldi Bontenan, Budiawan Saputra Riring, serta Geri Krisdianto, seolah sedang mengolah ruang budaya tersebut menjadi wahana akuarium raksasa lewat gerakan tarian mereka.

Advertisement

Begitulah penampilan pembuka dalam tari Cry Jailolo karya Eko “Pece” Supriyanto yang dipentaskan di Teater Arena TBS Solo, Selasa malam. Tujuh penari yang terdiri atas Veyndi Dangsa, Greatsia Yobel Yunga, Fernandito Wangelaha, Gerry Gerardo Bella, Noveldi Bontenan, Budiawan Saputra Riring, serta Geri Krisdianto, seolah sedang mengolah ruang budaya tersebut menjadi wahana akuarium raksasa lewat gerakan tarian mereka.

Bak gerombolan ikan yang sedang berenang, mereka bergerak menyusuri bagian kanan, depan, kiri, dan belakang panggung Teater Arena dengan gerakan tari yang liat. Sepanjang menari dalam formasi kelompok tersebut, mereka terus mempertahankan gerakan ketukan kaki yang terinspirasi dari tarian Legu Salai khas Suku Sahu, Jailolo, Halmahera Barat.

Tarian yang digarap tanpa properti tambahan ini selanjutnya berhenti setelah kurang lebih 30 menit berjalan. Ketujuh penari menghilang dalam gelap. Setelah itu satu di antara penari muncul ke tengah panggung. Enam penari lain berdiri di belakangnya. Dalam diam, mereka menatap lekat penonton yang duduk di depannya.

Advertisement

Saat tarian berdurasi kurang lebih satu jam ini berakhir, sejumlah penonton yang hadir menyambut karya terbaru Eko Pece dengan tepuk tangan berdiri. Salah satu apresiasi hadir dari empu tari Sardono W. Kusumo. Dia melihat tarian  yang dibawakan dengan penuh penjiwaan oleh enam lelaki asli Jailolo dan satu penari industri ini menjadi tonggak baru di dunia tari kontemporer.

“Tarian ini platform yang menarik. Kecerdasan tubuh penarinya kelihatan sekali. Teknik gaya berat dan keseimbangan penarinya luar biasa. Ini sebuah tonggak. Dari tubuh yang dikonstruksikan lahir sebuah kebudayaan. Eko benar-benar bekerja dengan riset. Dia mampu menjadi manusia air, itu sebabnya ia mampu menjiwai jiwa orang-orang,” katanya selepas pertunjukan.

Eko Supriyanto mengungkapkan karya tari terbarunya berasal dari proses riset dan berkarya selama tiga tahun di Halmahera Barat. Lakon tari ini terinspirasi dari keindahan alam bawah laut Jailolo. Namun saat menyelami keindahan tersebut, Eko juga mendapati alam bawah laut di sana terusik dengan akibat aksi pengeboman ikan yang merusak terumbu karang di sana.

Advertisement

“Ini hasil berproses setelah dua tahun. Saya akhirnya menyelam betul dalam kultur yang berbeda. Saya masuk dan mengobrol di Suku Sahu, Tobaru, Wayoli, dsb. Itu yang membuat saya disadarkan betapa ada hal-hal sederhana yang bisa jadi sesuatu [yang besar] buat mereka,” jelas Eko.

Selama beberapa waktu berproses di Jailolo dan tampil ke Malaysia, Jakarta, dan Bandung, Eko mengungkapkan dia menemukan pengalaman yang menarik. “Kami mengalami cultural shock. Saya shock melihat keindahan alam di sana rusak karena pengeboman terumbu karang. Para penari [asli Jailolo] juga shock saat saya ajak berkeliling dan mengikuti proses ini. Ada transfer value,” ujarnya.

Berdiri di persimpangan jalan antara industri dan seni tari murni, nyatanya tak membuat Eko “Pece” Supriyanto gamang. Ia memilih “laku sunyi” dengan menggarap karya yang mampu menyentuh masyarakat awam pada dunia seni tari kontemporer. Pertukaran budaya agaknya menjadi upah yang lebih bernilai daripada tepuk tangan berdiri.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif