Jogja
Rabu, 5 November 2014 - 16:20 WIB

Ini Beda Bandara di Padang dan Kulonprogo

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pemkab Kulonprogo mengadakan kunjungan ke Kantor Pemkab Padang Pariaman untuk berbagi pengalaman seputar pembangunan bandara, Selasa (4/10/2014). (JIBI/Harian Jogja/Switzy Sabandar)

Harianjogja.com, PADANG PARIAMAN—Dinamika pembangunan Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang Pariaman, Sumatra Barat dan Kulonprogo berbeda. Perbedaan tersebut menjadi bahan pembelajaran bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kulonprogo yang tengah mengadakan kunjungan kerja ke Padang Pariaman.

Terdapat beberapa perbedaan signifikan dalam proses pembangunan bandara di Padang Pariaman dan Kulonprogo, antara lain jumlah warga yang pemukimannya terdampak, jenis lahan, relokasi dan sebagainya. Sedangkan persamaan antara BIM dengan calon bandara baru Kuloprogo, yakni keduanya menggantikan bandara lama milik AU, lokasi bandara bersebelahan dengan laut, dan BIM juga sempat mendapat penolakan dari warga. BIM dibangun pada 2000 dan sudah beroperasi sejak 2005.

Advertisement

General Manager PT Angkasa Pura (AP) II Cabang BIM Asep Supriatna membenarkan dinamika dan proses yang dilalui pembangunan BIM berbeda dengan calon bandara baru di Kulonprogo.

“Namun, bukan berarti tantangan kami lebih mudah, setiap pembangunan memiliki tantangannya masing-masing,” ujarnya dalam acara kunjungan kerja Pemkab Kulonprogo ke BIM, Senin (3/11/2014) petang.

Sekalipun memiliki perbedaan, dia menambahkan, benang merah antara pembangunan BIM dengan bandara baru di Kulonprogo berada pada tataran pemkab dan PT AP. Menurut Asep, pemkab dan PT AP harus memiliki semangat yang sama dan konsisten dalam setiap tahap pelaksanaan pembangunan bandara. Masyarakat, kata dia, perlu diberi pemahaman terkait pentingnya pembangunan.

Advertisement

Kekhawatiran warga soal mata pencaharian, paparnya, sudah dibuktikan oleh PT AP II yang menyediakan lahan pekerjaan bagi warga. Putra daerah diberi prioritas sesuai dengan kemampuan dan diberi ruang untuk menjalankan aktivitas usaha di sekitar bandara, seperti pekerjaan sebagai operator service, porter di kargo, pengelolaan tempat makan di luar terminal, kontraktor pembangunan, dan sebagainya.

Tokoh masyarakat Padang Pariaman Rajo Sampono mengungkapkan semula terjadi penolakan warga terhadap pembangunan bandara.

“Bahkan saat tahap ganti rugi hingga dibawa ke pengadilan karena warga tidak setuju,” ujarnya.

Advertisement

Pada akhirnya, kata Rajo, warga setuju setelah diberi pengertian, terlebih mayoritas lahan yang digunakan untuk pembangunan BIM bukan milik warga, melainkan milik tokoh masyarakat adat serupa Pakualaman Ground (PAG) jika di Kulonprogo.

Asisten II Sekda Kulonprogo Triyono menuturkan maksud kunjungan kerja ke Pemkab Padang Pariaman dan PT AP II untuk  mbandingkan pelaksanaan pembangunan bandara dan mencari pandangan baru dalam menyelesaikan konflik bandara di masyarakat.

“Harapannya kami dapat belajar melalui BIM,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif