Jogja
Minggu, 2 November 2014 - 06:45 WIB

Bisnis Mebel di Kulonprogo Lesu, Ini Penyebabnya

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi industri mebel (JIBI/Harian Jogja/Antara)

Harianjogja.com, KULONPROGO-Bisnis mebel di Kulonprogo lesu, sekalipun potensi kayu tinggi. Minimnya sumber daya manusia (SDM) yang mampu mengolah kayu disinyalir menjadi penyebab utama.

Masyarakat memilih untuk berbisnis gelondong yang berdampak pada 120 meter kubik kayu batangan bulat keluar dari Kulonprogo setiap hari.

Advertisement

Wahyono, pemilik usaha mebel Jati Indah di Dusun Ngipik, Desa Bumirejo, Kecamatan Lendah, menuturkan, orang lebih memilih untuk menjadi pedagang kayu ketimbang pengusaha mebel. Alasannya, sulit mendapatkan SDM yang mampu mengolah kayu secara profesional di Kulonprogo.

“Bisa dikatakan, saat ini belum ada pengrajin yang mampu mengolah kayu dan merebut pasaran nasional dari Kulonprogo,” ujarnya, Jumat (31/10/2014).

Apalagi, sebutnya, usaha mebel yang minim SDM hanya bergantung pada pasar lokal saja, sebab pasar nasional akan memilih mebel yang dibuat oleh pengrajin profesional. Sementara, pasar lokal yang terdiri dari para petani hanya akan menjadi konsumen saat pertanian berhasil.

Advertisement

Diakuinya, selama ini belum ada pembinaan secara langsung dari pemerintah terkait pengembangan SDM di bidang kerajinan mebel. Rata-rata pemilik usaha mebel justru membayar orang dari luar Kulonprogo sebagai pengrajinnya.

Sulitnya SDM juga mengakibatkan orang Kulonprogo memasang tarif lebih mahal untuk mengerjakan pembuatan mebel. Ia memaparkan, pengrajin dari Klaten bisa dibayar Rp80.000 untuk satu pekerjaan, sedangkan orang Kulonprogo memiliki standar upah lebih tinggi untuk mengerjakan hal serupa yaitu sekitar Rp200.000.

Masyarakat yang tertarik di bisnis kayu, ungkap Wahyono, akhirnya memilih untuk menjual gelondong karena pasar yang lebih pasti dan penjualan lebih cepat.

Advertisement

Selain membuka usaha pembuatan mebel, ia juga bergerak di bidang penjualan gelondong. Omzet yang diperoleh per bulan mencapai Rp200 juta per bulan. “Dari omzet itu bisa terlihat usaha mebel hanya berkontribusi 20 persen saja,” tuturnya.

Dikhawatirkan Wahyono, jika keadaan ini terus dibiarkan potensi kayu, terutama kayu jati di Kulonprogo akan habis. Dalam satu hari, sekitar 120 meter kubik kayu dari Kulonprogo per hari, justru lari ke daerah lain, seperti Jepara.

“Akan lebih baik jika potensi sebesar itu dimanfaatkan untuk usaha mebel, tetapi juga harus diikuti dengan kapasitas SDM yang mumpuni,” imbuhnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif