Entertainment
Sabtu, 1 November 2014 - 03:30 WIB

PENTAS TEATER : Lungid Sindir Pembangunan Lewat Leng

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Salah satu adegan pertunjukan teater yang berjudul Leng yang dibawakan oleh Teater Lungid di Teater Arena, Taman Budaya Surakarta (TBS), Solo, Jawa Tengah, Kamis (30/10/2014) malam. Pementasan teater tersebut menceritakan tentang kritik-kritik sosial yang dibawakan dengan bahasa Jawa. (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Pembangunan selalu menyisakan gejolak sosial. Demikian pula kehadiran sebuah pabrik di Desa Bakalan yang mengusik ketenangan warganya dan diangkat Teater Lungid lewat pentas Leng.

Deru mesin yang bersuara siang dan malam dalam pembangunan pabrik mengganggu ketentraman warga. Sebagian warga ada yang “berdamai” dengan menerima kompensasi sebagai buruh dan menjual tanah untuk perluasan pabrik. Sebagian yang lain bersuara lantang menentang.

Advertisement

Adalah Bongkrek yang berkeras hati enggan melepas tanah warisan leluhurnya untuk dijadikan pabrik. Ia juga kerap kali berkoar memprotes aktivitas pabrik yang tak kenal waktu. Semua kekesalan ia muntahkan di pelataran makam keramat Kiai Bakal. Di makam yang dijaga Mbah Rebo itu, warga kerap kali ngalap berkah.

Sikap vokal Bongkrek terendus Juragan penguasa pabrik. Lelaki yang kerap kali paranoid diprotes warga dan takut jatuh miskin itu mengutus anak buahnya untuk menghabisi Bongkrek. Begitulah sekilas gambaran cerita pentas teater Leng yang dibawakan kelompok teater Lungid di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo, Kamis (30/10/2014) malam.

Sutradara Kelompok Teater Lungid, Djarot Budi Dharsono, mengutarakan pihaknya sengaja mementaskan naskah teater yang ditulis Bambang Widoyo Sp. pada 1985 silam lantaran isunya yang masih relevan dengan kondisi kekinian. Naskah ini sebelumnya juga pernah dipentaskan Teater Gapit pada 2003 lalu.

Advertisement

“Kapitalisme menggerus nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Imbas dalam pembangunan menghilangkan gotong royong, kebersamaan, yang sebelumnya menjadi budaya dalam masyarakat,” kata Djarot, saat berbincang selepas pementasan, Kamis malam.

Selain menonjolkan imbas kapitalisme dalam mengubah kondisi masyarakat pinggiran, lelaki yang sebelumnya terlibat dalam pementasan naskah Leng bersama Teater Gapit ini juga masih mempertahankan konsep pemanggungan lawasnya bersama kelompok terdahulunya. Musik pengiring gamelan, kain putih sebagai alat penanda makam keramat, masih ia pertahankan.

Penonton sekaligus akademisi dari Jurusan Teater ISI Solo, Trisno Pelok Santoso, melihat jalannya pertunjukan teater berbahasa Jawa ini cukup menarik. “Saya melihat anak-anak muda yang tampil bisa luwes membawakan naskah berbahasa Jawa ini,” ujar Pelok, saat dihubungi Solopos.com, Jumat (31/10) sore.

Advertisement

Tak hanya berani menampilkan generasi muda dalam pementasan berbahasa Jawa, Pelok juga mengapresiasi teknik penggarapan pertunjukan yang dikemas atraktif. “Kelompok ini berani menampilkan kembali kain putih sebagai simbol makam keramat. Selain itu, kemasannya terasa ada sentuhan modernnya dengan memberikan sentuhan baru pada pertunjukan tradisional yang biasa dianggap kuno,” tutupnya.

Selain dipentaskan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah Solo, pentas teater Leng rencananya juga akan diboyong ke Jogja, November mendatang.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif