Jogja
Jumat, 31 Oktober 2014 - 23:20 WIB

Jelang MEA, Ini yang Harus Diperhatikan Petani

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga Desa Tanjungsari, Kecamatan Manisrenggo, merawat bibit tembakau yang masih berumur 1,5 bulan di lahan persemaian, akhir pekan lalu. Tahun ini, di wilayah Manisrenggo ada 150 hektare lahan yang akan ditanami tembakau. (JIBI/Ayu Abriyani KP)

Harianjogja.com, SLEMAN-Petani tanaman hortikultura membutuhkan benih yang lebih termutu agar kualitas sayuran maupun buah-buahan yang dihasilkan juga lebih baik. Hal tersebut dibutuhkan dalam persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai tahun depan.

“Persiapan kami sementara ini menonjolkan teknologi budidaya serba organik. Dengan bibit yang berkualitas dan kualitas hasil produksi juga diharapkan bisa bersaing dengan produk luar,” kata Marwanto, 46, petani melon dan cabai asa; Dusun Ngepas Lor, Donoharjo, Ngaglik, Kamis (30/10/2014).

Advertisement

“Budidaya melon sekarang sedang susah karena terkena virus. Kalau ada benih yang tahan virus, mungkin pemerintah atau pihak swasta bisa memberikan solusinya,” kata Marwanto, di sela workshop bertajuk “Tantangan Petani Holtikultura dalam Menyambut Pasar Tunggal ASEAN 2015” di Kaliurang, Kamis (30/10/2014).

Menurut Marwanto, harga benih tanaman impor sering kali juga lebih murah dibanding benih lokal. “Kita harus hati-hati agar tidak kalah di negeri sendiri. Harus ada kesinambungan antara perusahaan benih, pemerintah, hingga distributor,” katanya kemudian.

Sementara itu, Ketua Penasehat Asosiasi Produsen Perbenihan Holtikultura Indonesia (Hortindo), Gunung Soetopo berpendapat, petani holtikultura membutuhkan sertifikasi Good Agricultural Practice (GAP) atas produk pertanian dan proses pengolahan pertaniannya.

Advertisement

Namun, karena biaya sertifikasi dinilai mahal, pemerintah diminta bisa memasilitasi petani mendapatkan GAP tersebut.

Soetopo mengungkapkan, petani Indonesia sudah tertinggal dengan petani di negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Filipina sudah banyak yang mendapat sertifikasi GAP dengan bantuan pemerintah.
Padahal, Sertifikasi GAP dibutuhkan agar produk petani bisa masuk ke pasar global. “Kalau sudah urusan dengan pasar global, mau tidak mau memang harus punya,” tegasnya.

Selain itu, Soetopo juga menilai pemerintah belum berpihak pada petani. Sebab, suku bunga perbankan untuk kalangan petani masih tinggi. Tingkat suku bunga tersebut bahkan lebih tinggi dibanding Malaysia dan Philipina.

Advertisement

“Kredit pertanian masih dikenakan bunga 16 persen. Bandingkan dengan di Malaysia yang hanya 3 persen dan Philipina sebesar 6 persen,” ungkapnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif