Young
Minggu, 26 Oktober 2014 - 06:24 WIB

TAHUN BARU JAWA : Butuh Sikap Baru untuk Sura

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Abdi dalem keluar dari gerbang Pura Mangkunegara, Solo, seraya membaca pusaka untuk dikirab dalam perayaan Malam 1 Sura, Sabtu (25/10/2014) dini hari. (JIBI/Solopos/ Ardiansyah Indra Kumala)

Abdi dalem keluar dari gerbang Pura Mangkunegara, Solo, seraya membaca pusaka untuk dikirab dalam perayaan Malam 1 Sura, Sabtu (25/10/2014) dini hari. (JIBI/Solopos/ Ardiansyah Indra Kumala)

Bulan Sura—bulan pertama dari siklus penanggalan Jawa—merupakan bulan yang memiliki makna khusus bagi sebagian besar orang, khususnya masyarakat Jawa. Di wilayah pusat kebudayaan Jawa seperti Solo dan Jogja banyak acara digelar untuk memperingatinya.
Advertisement

Namun dengan makin majunya zaman dan bergantinya generasi, akankah peringatan Sura terus bertahan. Seperti apa pemahaman generasi muda saat ini terhadap aneka kegiatan menyambut bulan Sura?

Abdurrazaq, mahasiswa Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, mengaku hanya mengenal Sura sebagai bulan yang bercitra misterius dan selalu disambut dengan acara berbau mistis. Konsep yang sama dituturkan Archiva Prysita, mahasiswi ISI Surakarta. “Biasanya ada pusaka-pusaka yang dikirab dan pasti berbau gaib. Itu sama kayak Jimatan di Purwokerto. Di sana juga ada kirab pusaka, tapi enggak ada kebo bule,” katanya.

Mahasiswi Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi UNS, Fikrina Faraidi Fardani, memandang Sura sebagai salah satu budaya kota Solo yang harus dipertahankan. “Generasi muda harus tahu budaya semacam itu,” katanya. Senada dengan Fikrina, siswa SMAN 1 Solo, Neza Ryffa Rizq, menganggap bulan Sura itu perlu dimaknai sebagai peringatan agar lebih mengenal kebudayaan “Itu budaya ratusan tahun, kalau hilang kan rugi. Makanya, kenal budaya Sura itu penting. Ketika orang mengenal budaya tersebut, secara tidak langsung juga udah ikut melestarikan,” katanya.

Advertisement

Kinanthi Widhy dari SMAN 2 Solo bahkan lebih tegas lagi. Menurut dia opini tentang “hanya sekadar tahu” bukanlah cara untuk melestarikan tradisi. “Tanpa tindakan yang bermanfaat, itu bukanlah sikap melestarikan,” ujar Kinanthi.
Sejalan dengan pemikiran itu, Singgih Prasetyo menambahkan, harus ada partisipasi aktif dari masyarakat dan kalangan muda jika mau benar-benar melestarikan. “Kalau sekadar tahu dan tidak melaksanakan, tingkat minat dan antusiasme jadi kurang. Ya, meskipun tidak wajib untuk percaya, lebih baik ikut melestarikan, contohnya dengan memahami sisi historisnya dan berpartisipasi aktif dalam perayaannya, “ kata mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS tersebut.

Sedangkan Naufal Hilmi, siswa SMKN 5 Solo menganggap Pemkot Solo juga perlu menyosialisasikan budaya Sura di sekolah untuk meningkatkan pemahaman pentingnya budaya tersebut. Pelajar lain, Alfino Galang dari SMAN 4 Solo bahkan meminta semua pihak lebih serius menjadikan peringatan Sura sebagai kegiatan pariwisata berskala besar.
Ginanjar Handi, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), mengingatkan agar pemerintah lebih berbenah agar perayaan tersebut bisa menjadi aset terpenting pariwisata Solo.

Saran lain dilontarkan siswi SMA Warga Solo, Triandhini Mega. Dia mengharapkan perayaan Sura digabungkan dengan agenda lain selain kirab kerbau dan kirab pusaka. “Mungkin bisa menambahkan acara yang lain. Contohnya, perayaan yang dibarengi dengan karnaval-karnaval, seperti menggabungkan Solo Batik Carnival ke dalam agenda besar Suranan. Ini dimaksudkan agar bisa menarik perhatian, tidak hanya orang tua tapi juga kaum muda, yang kini semakin sulit melirik budaya kuno,” katanya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif