News
Jumat, 3 Oktober 2014 - 07:40 WIB

Siswa SMP BW Dikirim ke Wilayah Terpencil, Mengapa?

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi kegiatan sekolah (Dok/JIBI/Harian Jogja)

Harianjogja.com, JOGJA – Sebanyak 100 siswa kelas VIII SMP Budya Wacana Jogja akan mengikuti kegiatan pembelajaran
kemandirian secara nyata dengan terjun langsung di tengah-tengah masyarakat. Siswa akan berada di Sidoharjo selama tiga hari,
Kamis – Sabtu (2-5/10/2014).

Di Sidoharjo nantinya para siswa akan berinteraksi langsung dengan masyarakat. Kepala SMP Budya Wacana Suharto Edyst
mengatakan wilayah Sidoharjo merupakan salah satu daerah terpencil di Kulonprogo. Medan di Sidoharjo amat berat lantaran berada di Perbukitan Menoreh.

Advertisement

Di sana para siswa akan disebar  di 22 rumah warga. Sebanyak 100 siswa dibagi menjadi 20 kelompok, jadi setiap kelompoknya ada
empat atau lima anak.

“Tiap-tiap kelompok akan menginap di rumah warga. Kendati ada guru pendamping, tapi guru hanya mengawasi, tidak lantas selalu
menempel di dekat siswa. Jadi siswa benar-benar mandiri,” ujarnya, Kamis (2/9/2014).

Bisa dikatakan kegiatan yang dilakukan itu seperti halnya kuliah kerja nyata (KKN) yang kerap dilakukan mahasiswa. Suharto melanjutkan, konsep sama dengan KKN karena para siswa diharapkan bisa menyelami aktivitas kehidupan warga terpencil di lereng Menoreh.

Advertisement

“Kegiatan ini merupakan upaya sekolah dalam pembinaan karakter. Tema yang kita angkat adalah lihat, rasakan dan lakukan,” jelasnya.

Lebih lanjut dia menjabarkan siswa akan melihat secara langsung kehidupan keseharian warga karena tinggal dalam satu rumah. Selanjutnya mereka juga bisa merasakan getirnya kehidupan keseharian. Kondisi dimana jarang mereka jumpai di Jogja. Terakhir, dari dua observasi itu siswa diharapkan bisa mengaplikasikan apa yang dia lihat dan dirasakan sehingga kepekaan sosial bisa terbentuk pada dirinya.

“Sekarang di Menoreh sedang dalam kondisi kekeringan, jadi siswa sekaligus bisa merasakan derita yang dialami warga. Siswa juga bisa merasakan minimnya pendapatan orang desa, tapi ternyata masih bisa bertahan hidup. Beda dengan kehidupan sehari-hari siswa yang identik dengan hidup enak. Di desa semangat kebersamaan warga juga kental. Itu yang ingin kami tekankan, siswa bisa mewarisi semangat tenggang rasa,” urainya lebih dalam.

Advertisement

Sementara Pengurus Bidang Kurikulum SMP Budya Wacana, Tri Joko menambahkan, kegiatan live in sudah berlangsung secara rutin di sekolah setiap tahunnya. Menurut dia, program tersebut sangat relevan dengan penerapan Kurikulum 2013. Pasalnya, realisasi penerapan kurikulum terbaru lebih terfokus memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk berekspresi. Guru hanya berperan sebagai penyaji, namun dituntut melahirkan konsep pembelajaran cerdas.

Pemahaman arti tenggang rasa dari sisi keagamaan juga bisa didapatkan. Siswa dengan  para warga memiliki perbedaan agama dan
keyakinan. Dari situlah, rasa saling mendukung dan menghargai bisa terjalin.

“Warga beragama muslim, sementara para siswa non-muslim. Nah di sinilah pembelajarannya, di sana para siswa harus menghargai
si pemilik rumah. Pagi buta harus sudah bangun ketika si pemilik rumah hendak menunaikan salat Subuh. Akan lebih baik lagi jika para siswa membantu mencari air untuk wudlu para warga yang hendak salat ini,” paparnya.

Adapun kegiatan tersebut merupakan agenda wajib dari sekolah untuk para siswa setiap tahunnya. Sejumlah siswa kelas IX juga ikut
lantaran belum mengikuti pada saat kelas VIII dulu. Nantinya para siswa akan mendapatkan sertifikasi kemandirian dari sekolah dan
Pemerintah Desa Sidoharjo.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif