Jateng
Kamis, 2 Oktober 2014 - 01:50 WIB

UU ROKOK : PPRK Menilai Penandatanganan FCTC karena Strategi Ekonomi

Redaksi Solopos.com  /  Sumadiyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Foto Ilustrasi (Istimewa/Reuters )

Foto IlustrasiJIBI/Harian Jogja/Reuters

Kanalsemarang.com, KUDUS – Ketua Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK) Dodiek mengungkapkan bahwa negara yang menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi pengendalian tembakau merupakan negara yang tidak memiliki industri spesifik perusahaan rokok.

Advertisement

“Sementara Indonesia memiliki industri spesifik perusahaan rokok berupa rokok kretek,” ujarnya, saat berdialog dengan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo bersama pengusaha rokok lainnya di aula Kantor PPRK Kudus seperti dikutip Antara, Rabu (1/10/2014).

Persoalan kesehatan yang diungkapkan selama ini, lanjut dia, ujungnya merupakan persoalan strategi ekonomi.

Advertisement

Persoalan kesehatan yang diungkapkan selama ini, lanjut dia, ujungnya merupakan persoalan strategi ekonomi.

“Seharusnya pemerintah memproteksi industri rokok kretek dan rasa nasionalismenya juga perlu ditegakkan,” ujar Dodiek yang juga pengelola PR Sukun.

Menurut dia, penyelamatan terhadap industri rokok kretek juga bagian terkecil dari nasionalisme. Apalagi, lanjut dia, kontribusi dari sektor rokok untuk negara ini mencapai Rp119 triliun.

Advertisement

Thomas Budi Santoso perwakilan dari PT Djarum menambahkan, bahwa rokok kretek buatan Indonesia selama ini hanya menyumpang produksi sekitar 5 persen dari total produksi di dunia.

“Negara Indonesia juga masih kalah dibandingkan dengan Negara Jepang,” ujarnya.

Pangsa pasar terbesar produk rokok kretek dari Indonesia di luar negeri, salah satunya Negara Amerika disusul Malaysia.

Advertisement

Akan tetapi, lanjut dia, produk rokok kretek yang dijual di Amerika sempat dilarang karena terkait persaingan dengan rokok putih dan sempat dicarikan perkara agar rokok kretek tidak lagi dijual di negara tersebut.

Akibatnya, lanjut dia, ekspor rokok kretek dari Indonesia langsung turun drastis dan menjadi “0”.

Untuk pemulihan pasar dari kondisi tersebut, katanya, butuh waktu antara 4-5 tahun.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif