Jogja
Kamis, 2 Oktober 2014 - 12:20 WIB

Laru, Ragi Alami Membuat Tempe Lebih Nikmat

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tempe dengan ragi alami buatan Santi, warga Kotekan, Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Minggu (28/9/2014). (JIBI/Harian Jogja/Kusnul Isti Qomah)

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL-Tempe identik dengan ragi. Bagaimana jika dalam membuat tempe menggunakan ragi alami? Bagaimana rasanya?

Mengikuti jejak seorang wisatawan asal Magelang, Jawa Tengah, Fabryan Sanekewatri, 26, Harianjogja.com, tiba pada sebuah jalan bercor blok menuju Pantai Jogan di Desa Purwodadi, Tepus. Pantai yang terkenal dengan air terjun temanten.

Advertisement

Ketika musim kemarau, air terjun temanten itu pun hanya menyisakan tetesan air. Namun, tujuan dari perjalanan bukanlah air terjun temanten. Perhatian tertuju pada aktivitas seorang wanita paruh baya di depan gubugnya.

Ia tengah asyik membuat sebentuk tali dari sulur (akar pandan laut). Wanita bernama Santi, 57, mengatakan tali itu ia gunakan untuk mengikat daun pembungkus tempe. Rupanya, gubug yang berdiri di tepi jalan cor blok itu merupakan rumah produksi tempe.

Advertisement

Ia tengah asyik membuat sebentuk tali dari sulur (akar pandan laut). Wanita bernama Santi, 57, mengatakan tali itu ia gunakan untuk mengikat daun pembungkus tempe. Rupanya, gubug yang berdiri di tepi jalan cor blok itu merupakan rumah produksi tempe.

Fabryan pun mampir sejenak sembari mengobrol. Rupanya ada yang unik dari tempe buatan Santi. Ia tidak menggunakan ragi buatan pabrik. Ia menggunakan ragi alami sehingga tempe buatannya merupakan tempe paling alami.

“Saya memakai laru,” ucap dia dengan senyum tersungging, Minggu (28/9/2014).

Advertisement

Sekali produksi, Santi membuat tempe dari 10 kilogram kedelai. Laru yang dibutuhkan yakni, dua lembar daun jati bahan laru dicampur dengan empat genggam mokaf. Sebelum menjadi tempe, kedelai direbus sekitar satu jam. Setelah itu, kedelai direndam dalam air dingin selama satu hari.

“Lalu dipususi [dicuci] dan direbus lagi sekitar 30 menit,” ujar dia.

Kedelai tersebut kemudian ditiriskan dan dipaparkan pada tampah. Setelah dingin, kedelai tersebut ditaburi laru. Setelah itu, kedelai langsung dibungkus dengan daun jati atau awar-awar. Ia tidak ingin menunggu lebih lama untuk membungkus karena tempenya bisa hitam. Kemudian, kedelai tersebut didiamkan selama sehari sebelum menjadi tempe yang siap diolah.

Advertisement

“Saya tidak suka memakai ragi yang buatan pabrik. Saya lebih senang pakai laru. Warga juga lebih suka,” imbuh dia.

Ia bercerita, bahkan ada wisatawan asal Solo yang selalu memborong tempe buatannya sebelum pulang ke Solo setelah berwisata di pantai. Terkadang, wisatawan itu bisa membeli tempe hingga seratus bungkus. Hasil penjualannya pun lumayan. Dengan modal Rp500.000 untuk membeli 50 kg kedelai, Santi bisa menghasilkan Rp700.000.

Santi tidak setiap hari membuat tempe. Ia membuat tempe pada hari pasaran Wage, Legi, dan Pahing. Pasaran Legi dan Pahing ia gunakan untuk menjual tempe di Pasar Dak Bong, sedangkan pasaran Wage ia gunakan untuk menjual tempe dengan berkeliling.

Advertisement

“Tidak ada alasan khusus. Memang sengaja dipaskan dengan pasaran di Pasar Dak Bong,” ujar dia.

Santi pun bangkit dari tempat duduknya, ia menunjukkan tempe yang sudah hampir jadi. Santi pun memanaskan penggorengannya. Ia menggoreng beberapa tempe untuk dicicipi.

“Hmm, rasanya enak. Saya suka. Ini lebih alami. Kedelainya lebih terasa,” ujar Fabryan usai mencicipi tempe dengan ragi alami itu.

Wisatawan yang akrab disapa Eke itu pun memborong semua tempe yang ada untuk dijadikan oleh-oleh.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif