Jogja
Selasa, 23 September 2014 - 03:20 WIB

Kesenian Topeng Ini Tampil Lagi setelah Puluhan Tahun Mati Suri

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Penampilan kesenian topeng di Balai Dusun Danggolo, Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Minggu (21/9/2014). (Kusnul Isti Qomah/JIBI/Harian Jogja)

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL- Kesenian topeng yang vakum 31 tahun di Dusun Danggolo dan Luweng Ombo, Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus secara resmi bangkit dari mati suri.

Mereka tampil kembali Minggu (21/9/2014) malam di Balai Dusun Danggolo dan berhasil menyedot ratusan penonton.

Advertisement

Salah satu warga, Sani mengatakan, ia terakhir kali menyaksikan pertunjukan topeng di desanya pada 1983. Ia mengaku, senang ketika kesenian yang menjadi warisan budaya kembali bangkit. Sani pun rela melihat pertunjukan topeng hingga larut malam.

“Saya suka melihat seni topeng. Dulu pernah ada. Tapi, sejak gamelannya dijual, kesenian topeng menjadi mati suri,” ujar dia kepada Harianjogja.com di sela-sela pertunjukan, Minggu (21/9/2014) malam.

Advertisement

“Saya suka melihat seni topeng. Dulu pernah ada. Tapi, sejak gamelannya dijual, kesenian topeng menjadi mati suri,” ujar dia kepada Harianjogja.com di sela-sela pertunjukan, Minggu (21/9/2014) malam.

Ketua Kelompok Seni Topeng Danggolo dan Luweng Ombo Sujarno mengaku, senang sekali ketika ratusan warga datang menonton bangkitnya kesenian topeng.

Ia mengatakan, kedatangan warga tidak lantas membuatnya grogi, namun justru memberikan semangat lebih bagi penari topeng.

Advertisement

Salah satu pemain, Saliman mengatakan, kerinduannya memainkan kesenian topeng terbayarkan. Ia bahkan rela harus merangkap peran. Dalam kisah yang dibawakan, lanjut dia, ia berperan menjadi Dekso Negoro dan Regol.

Ia mengaku, tidak kesulitan walaupun harus menghafalkan dua naskah. Persiapan yang dilakukan yakni sejak Juni lalu.

“Kami senang bisa tampil kembali. Meskipun memakai peralatan yang sederhana, kami tetap senang,” ujar dia.

Advertisement

Para pemain topeng menggunakan alat yang mudah ditemui di sekitar mereka seperti kalung manik-manik yang dirangkai menggunakan tali rafia. Mahkota yang digunakan dibuat dari besek (wadah dari anyaman bambu) yang dipadu dengan kertas karton.

Sayap yang dipakai juga terbuat dari kertas karton. Selain itu, selendang yang akan mereka gunakan untuk menari juga hasil pinjam saudara. Para pemain juga menggunakan make up seadanya. Bahkan ada yang meminjam.

Bahkan, ketika alat make up yang dibutuhkan tidak ada, mereka memakai alat pengganti untuk merias diri. Misalnya saja, ketika pemain harus menghias wajah dengan pensil alis, namun tidak ada, para pemain pun memanfaatkan spidol berwarna hitam.

Advertisement

“Tidak apa-apa pakai alat seadanya. Yang penting kami bisa tampil. Gamelan pun hasil pinjaman,” ujar pemangku adat Desa Purwodadi, Sagiyanto.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif