News
Sabtu, 13 September 2014 - 16:45 WIB

RUU PILKADA : Sukarelawan Projo Desak SBY Tarik RUU Pilkada

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pendukung Pilkada langsung berunjuk rasa di Gedung Parlemen, Kamis (11/9/2014). (JIBI/Solopos/Antara/Ismar Patrizki)

Solopos.com, JAKARTA – Desakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menggunakan kewenangannya menarik RUU Pilkada terus menguat.

Kelompok sukarelawan Pro Jokowi (Projo) menolak RUU Pilkada yang menggulirkan Pilkada dilakukan oleh DPRD karena dinilai sebagai pemasungan demokrasi dan merampas hak-hak rakyat. SBY diminta segera menarik RUU tersebut.

Advertisement

“SBY selaku presiden harus menarik pembahasan RUU Pilkada karena seluruh elemen masyarakat semuanya menolak. Presiden memiliki hak, RUU ini kan inisiatifnya dari pemerintahan SBY,” ujar Waketum Projo Madchan HR dalam jumpa pers di Restoran Waroeng Daun, Jl. Cikini Raya, Jakpus, Sabtu (13/9/2014).

Menurut Madchan, SBY memiliki posisi nilai tawar karena merupakan Ketum Partai Demokrat. Demokrat sebagai fraksi terbesar di DPR dinilai seharusnya menjadi penyeimbang, dan bukan malah sebagai pemberat.

Advertisement

Menurut Madchan, SBY memiliki posisi nilai tawar karena merupakan Ketum Partai Demokrat. Demokrat sebagai fraksi terbesar di DPR dinilai seharusnya menjadi penyeimbang, dan bukan malah sebagai pemberat.

Projo menilai wacana Pilkada oleh DPRD yang kencang digulirkan oleh Koalisi Merah Putih sebagai politik balas dendam yang sarat akan penjegalan. Jika Pilkada dilakukan oleh DPRD, pemimpin daerah disebut akan menjadi budak DPRD dan pelayanannya hanya untuk Dewan, padahal dalam demokrasi rakyat adalah yang paling berhak untuk dilayani.

“Terstimoni kepala daerah pilihan yang menolak Pilkada DPRD, mereka setelah dipilih langsung punya tanggung jawab moral terhadap rakyat. Beda kalau dipilih dari DPRD,” jelas Madchan.

Advertisement

Pada bagian lain, Wakil Ketua DPD RI Laode Ida menilai pilkada lewat DPRD sebagai pelanggaran hak konstitusional.

“DPD itu tegas menolak dan itu diputuskan sejak dua tahun lalu. Ini pelanggaran hak konstitusional. Pemilihan secara DPRD telah menghilangkan hak calon yang ada dalam konstitusional. Jangan merampas kembali hak seseorang untuk dipilih,” ujar La Ode dalam diskusi Perspektif Indonesia di Rarampa Resto, Jl. Mahakam II/1 Kebayoran Baru, Jaksel, Sabtu.

Menurutnya, hak konstitusional seseorang adalah untuk memilih dalam Pemilu. Jika kepala daerah dipilih melalui DPRD maka kesempatan itu hilanglah sudah. Pilkada tidak langsung disebutnya menyebabkan tidak adanya demokrasi di Indonesia.

Advertisement

“Tidak ada alasan untuk kembali lagi seperti ke kebijakan rezim orde baru. Hak ratusan bangsa ini diambil alih sekelompok elite. Di DPR itu tunduk arahan fraksi dan parpol dan itu sebetulnya hanya 1-2 orang. Ketum (yang memutuskan), selesai. Praktis tidak ada demokrasi,” kata La Ode.

Sementara itu Direktur Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) Didik Supriyanto menyebut wacana Pilkada melalui DPRD sebagai bentuk kekecewaan karena kekalahan dalam kompetisi di Pilpres.

Pilkada langsung dikatakan Didik perlu dilakukan agar masyarakat dapat mengenal kepala daerahnya. Jika dilakukan oleh DPRD berarti memupus kemungkinan itu.

Advertisement

“Pemilih itu ingin kenal dengan calon. Kalau pemilu langsung calon kan datang ke rumah-rumah untuk mencari dukungan dan pemilih jadi kenal. Pemilu dilakukan langsung bagus dalam sistem pemerintahan,” tutupnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif