Jogja
Jumat, 12 September 2014 - 08:20 WIB

Peserta CoV 8 Kagumi 'Museum Alam' Dam Bakalan

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Peserta Cities on Volcanoes (CoV) 8 saat melakukan pengamatan di Dusun Bakalan, Desa Argomulyo, Cangkringan, Sleman, Kamis (11/9/2014). (JIBI/Harian Jogja/Rima Sekarani)

Harianjogja.com, SLEMAN-Ratusan peserta Cities on Volcanoes (CoV) 8 mendatangi sebuah kawasan terdampak erupsi Gunung Merapi 2010 di Dusun Bakalan, Desa Argomulyo, Cangkringan, Sleman, Kamis (11/9/2014). Banyak kesan yang mereka dapatkan selain bahan penelitian tentang kegunungapian. Apa saja itu?

Sekitar pukul 10.30 WIB, tujuh bus pariwisata yang membawa ratusan peserta CoV 8 tiba di Bakalan, Argomulyo, Cangkringan, Sleman. Begitu keluar dari bus, mereka langsung disuguhkan dengan pemandangan di sekitar Dam Bakalan yang dipenuhi pasir dan batu. Beberapa menit kemudian, pemandu perjalanan mengajak mereka berjalan kaki menyeberangi Jembatan Bakalan.

Advertisement

Sampai di seberang, Bupati Sleman dan beberapa pejabat Kabupaten Sleman lainnya menyambut seluruh peserta dengan hangat. Pemandu pun memperkenalkan satu per satu pejabat yang ada, berikut bidang dan wewenangnya.

Usai acara perkenalan singkat, pemandu menerangkan secara singkat tentang Bakalan. Kawasan tersebut merupakan salah satu titik terdampak paling parah saat erupsi Gunung Merapi 2010. Namun, Bakalan kini menjadi museum alam untuk tujuan wisata dan pendidikan bencana. Sisa rumah-rumah yang tersapu awan panas dibiarkan tetap berdiri tanpa ada perbaikan. Sementara itu, warga di sana saat ini sudah mendiami lokasi hunian tetap yang disediakan pemerintah.

Penjelajahan pun dimulai. Mereka diantar masuk ke Bakalan untuk mengamati puing-puing bangunan serta bebatuan maupun pasir yang masih menggunung di sana. Setiap peserta dengan cermat mendengarkan penjelasan yang disampaikan pemandu. Mereka pun mulai mengabadikan hal-hal yang dianggap unik melalui jepretan kamera.

Advertisement

Begitu penjelasan umum berakhir, masing-masing peserta mendalami sendiri hal-hal yang ingin dipelajari. Mereka mengamati pasir dan batu, bagaimana tanaman-tanaman yang kemudian tumbuh, hingga mengambil sampel pasir dan batu dalam sebuah kantong plastik.

Mereka saling mendiskusikan apa yang diamati dengan sesama peserta dan pemandu. Beberapa pejabat pun tak luput jadi sasaran pertanyaan. Mereka ingin lebih tahu tentang penanganan paska bencana.

Yunichi Yoshitani, peserta VoC 8 asal Jepang mengungkapkan kondisi serupa juga terjadi di negara asalnya. Seperti Indonesia, Jepang memang memiliki banyak gunung api. Namun, erupsi Gunung Merapi 2010 nampaknya tetap membuatnya takjub.

Advertisement

Maybe it’s bigger [mungkin erupsi di Jogja lebih besar],” kata ahli hidrologi yang mengaku tinggal di Pulau Junsu, Jepang.

Tak hanya soal ilmu pengetahuan, kehidupan masyarakat sekitar pun menarik perhatian peserta. Misalnya saja Hollei Gabrielsel, peserta asal New Zealand. Dengan antusias dia mengungkapkan di negara asalnya terdapat tiga gunung api besar yang masih aktif. Letusannya merusak alam sekitar. Bedanya, dipaparkan Hollei, tidak ada warga New Zealand yang masih tinggal di kawasan rawan bencana. Meski begitu, dia mengaku memahami bagaimana perasaan warga yang masih bertahan tinggal di lereng Gunung Merapi.

I can feel that things in here and how it affected the people [saya dapat memahami perasaan warga yang tinggal disini dan bagaimana erupsi ini mempengaruhi mereka],” ucap Hollei.

(rima@harianjogja.com)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif