Jogja
Jumat, 12 September 2014 - 11:40 WIB

Pelaku Seni Topeng 'Bangkit' Setelah 31 Tahun 'Mati Suri'

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sujarno tengah memoles topeng dengan kuas dari bambu, Kamis (11/9/2014). (JIBI/Harian Jogja/Kusnul Isti Qomah)

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL-Setidaknya selama 31 tahun pelaku seni topeng di Dusun Luweng Ombo dan Danggolo, Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Gunungkidul terpaksa harus menahan diri memberikan pertunjukan terbaik. Berkat kebaikan seseorang yang bersedia meminjamkan gamelan, akhirnya kesenian ini kembali hidup.

Kamis (11/9/2014) siang, sekitar pukul 11.20 WIB, seorang pria mengendarai sepeda motor warna merah, Saido warga Wuluh, Desa Purwodari, Kecamatann Tepus berhenti tepat di halaman rumah seorang warga Dusun Luweng Ombo, Sujarno. Rumah yang dituju tampak tertutup daun pintunya. Usai mencari anak si pemilik rumah agar bisa masuk, Saido tampak mencari-cari sebuah wadah. Benar saja, ia meraih wadah dari anyaman bambu yang berisi 20 topeng dengan berbagai karakter. Saido kemudian menjajarkan topeng-topeng berbeda warna itu dengan rapi.

Advertisement

Beberapa topeng bahkan dipasangkan dengan mahkota yang berbeda. Namun, tak semua topeng memiliki pasangan mahkota. Saido bergumam. Kemudian, ia meminjam kain batik. Saido melepas kaosnya, menyingsingkan sedikit celananya, melilitkan kain batik  ke pinganggnnya kemudian memasangkan selendang untuk mengikat kain batik itu. Saido memasang hiasan di kedua lengannya. Ia mengambil salah satu topeng, lengkap dengan mahkota dan sayap. Tanpa ragu, pemilik warung di Pantai Siung itu mengalungkan satu lagi selandang dan mulai menari. Gerakannya tampak baik tapi sedikit kaku.

“Sekarang susah. Jaga keseimbangan juga susah. Berbeda dengan 31 tahun lalu,” ujar dia.

Saido kemudian rehat sambil bercerita bahwa dia adalah salah satu pemain tari topeng di Desa Purwodadi. Ia masih ingat betul cerita apa yang ia tampilkan pada pentas 31 tahun lalu. Sekar Cangkok Kesuma adalah cerita yang ia pentaskan bersama teman-temannya. Pementasan pada 1983 itu adalah pementasan terakhir tari topeng di desa ini. Seni yang merupakan warisan budaya turun-temurun itu pun harus direlakan. Gamelan yang biasanya mendampingi pentas harus dijual karena kondisi perekonomian yang susah kala itu. Sejak saat itu, topeng dan kisahnya pun mati suri.

Advertisement

Si pemilik rumah, Sujarno pun akhirnya keluar kamar setelah terbangun. Ia lalu mengiyakan kisah yang diceritakan Saido. Sujarno seakan tak percaya, kesenian yang ia lestarikan dulu dan hilang, kini hidup kembali. Sebagai fasilitator Kelompok Seni Topeng Dusun Luweng Ombo dan Danggolo itu mengaku sempat ragu ketika diminta para generasi muda untuk menghidupkan lagi kesenian warisan budaya itu. Ia berpikir, ketika menolak, kesenian itu tak akan pernah hidup lagi. Namun, ketika disanggupi, semuanya harus berkomitmen untuk memperjuangkan kesenian topeng.

“Hanya di sini yang ada ceritanya. Tidak sekedar menari topeng sendirian. Cerita Sekar Cangkok Kesuma saja bisa memakan waktu enam jam,” ujar dia.

Namun, niat untuk membangkitkan kesenian lebih besar. Ia dan rekan-rekannya menggelar rapat pembentukan kelompok Juni lalu. Satu demi satu topeng pun dibuat dengan berbagai karakter sehingga bisa memainkan sebuah cerita.Kini, ketika semua perlengkapan sudah siap, kelompok seni topeng itu siap tampil perdana. Pada 21 September malam, mereka akan tampil dengan membawakan cerita Sekar Cangkok Kesuma. Mereka akan tampil sebelum Bersih Desa Purwodadi pada 24 September.

Advertisement

Ada satu kekhawatiran dalam benak pelaku seni topeng. Trauma sirnanya gamelan masih membayangi mereka. Gamelan kali ini pun hanya pinjaman dari Dusun Gerotan. Jika sewaktu-waktu gamelan itu diminta si empunya, kesenian topeng ini pun terancam vakum kembali.

“Kami ingin punya gamelan sendiri. Tapi mahal. Bisa sampai Rp200 juta, itupun belum yang paling bagus,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif