News
Minggu, 7 September 2014 - 11:40 WIB

RUU PILKADA : Perludem: Gubernur-Bupati Dipilih DPRD Hanya untuk Kepentingan Elite

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Rachman/JIBI/Bisnis)

Solopos.com, JAKARTA — Mayoritas fraksi di DPR ramai-ramai berubah pandangan politik soal RUU Pilkada yang masih dalam pembahasan. Fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mendorong usulan pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) di DPRD masuk dalam RUU Pilkada.

Ketua Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan jika draf pemilihan kepala daerah (pilkada) disetujui dalam RUU Pilkada, maka keputusan politik tersebut merupakan kemunduran dalam demokrasi di Indonesia. “Sebenarnya pembahasan ini mundur lagi. Mundur dalam konteks pemenuhan hak-hak warga negara dalam menentukan pemimpin daerahnya,” ujar Titi dikutip Detik, Minggu (7/9/2014).

Advertisement

Menurut Titi Anggraini, dinamika yang berkembang dalam pembahasan RUU Pilkada menunjukkan para politisi Senayan dan pemerintah sedang mempertontonkan drama politik mereka. Di awal bergulirnya RUU Pilkada, pemerintah mengusulkan pilkada dilakukan melalui DPRD. Sementara itu, fraksi-fraksi di DPR berseberangan dengan pemerintah dan menolak pemilihan melalui DPRD karena hal itu kembali ke sistem lama.

Namun kini tanpa alasan ideologi yang jelas, lanjut Titi, posisi pemerintah dan DPR berkebalikan. Pemerintah saat ini justru mendukung pilkada langsung. Sementara itu, mayoritas fraksi di DPR malah mendorong pilkada melalui DPRD.

“Secara terbuka mereka mempertontonkan politiknya bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elite sendiri. Ini bukan hanya kemunduran, tapi juga inkonsistensi nyata dari sikap fraksi-fraksi di parlemen. Mereka tidak punya posisi politik yang jelas terkait dengan pilkada langsung,” pungkasnya.

Advertisement

Menurut Titi, jika sistem politik Indonsia menganut presidensial, maka kepala daerah seyogianya dipilih secara langsung oleh rakyat. Bukan perwakilan melalui DPRD.

“Tafsir terhadap pasal 18 ayat 4 UUD itu harus komprehensif. Kita ini kan menganut sistem presidensial, di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat. Dalam presidensil, maka mekanisme yang sama juga harus diterapkan pada lembaga eksekutif di bawahnya, provinsi dan kabupaten kota,” ujar Titi Anggraini.

Menurut dia, tidak ada di dunia ini negara yang presidennya dipilih langsung, namun lembaga eksekutif di bawahnya dipilih tidak langsung. Penerjemahan terhadap pasal 18 ayat 4 soal pemilihan secara demokratis harus diterapkan secara konsisten, tidak setengah-setengah.

Advertisement

‘Dalam sistem presidensial dan otonomi daerah, produk otonomi daerah itu kan DPRD dan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Kita akan menghadapi problem legitimasi jika kepala daerah dipilih tidak secara langsung,” jelasnya.

Titi juga menolak argumentasi soal biaya politik yang tinggi jika pemilihan dilakukan secara langsung. Menurut dia, tidak fair jika membenturkan antara hak-hak warga negara untuk menentukan pemimpinnya secara langsung dengan biaya politik. Padahal wacana soal biaya politik sudah pernah dibahas di DPR dan menghasilkan sebuah kesimpulan untuk menekan biaya politik. Salah satunya dengan pilkada langsung serentak.

“Nah, kenapa tidak ini yang didorong soal pilkada langsung serentak. Ini yang bisa tekan biaya politik yang tinggi. Kalau melalui DPRD, ini langkah mundur demokrasi,” pungkas Titi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif