Umum
Senin, 1 September 2014 - 21:30 WIB

PUNGLI DI SUKOHARJO : Pengembang Bayar Pungli, Pembeli Rumah Rugi

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Foto ilustrasi (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Perbangunan perumahan di wilayah Sukoharjo oleh pengembang skala kecil hingga besar meningkat signifikan beberapa tahun terakhir ini. Hal itu tak terlepas dari semakin sempitnya lahan untuk permukiman di Kota Solo. Sialnya, tumbuhnya usaha properti itu diiringi pula berkembangnya penyimpangan birokrasi.

Kepala Bidang Prasarana dan Pengembangan Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sukoharjo, Agus Purwantoro, menyatakan perkembangan permukiman tak bisa dihindari apalagi lahan untuk permukiman di Sukoharjo tersedia cukup luas dan di banyak tempat.

Advertisement

“Pengusaha kan enggak ada yang mau rugi. Jadi, mau bagaimana lagi agar tidak rugi selain membebankan biaya-biaya itu ke konsumen?”

Ia menjelaskan pada 2010 Pemkab Sukoharjo mengeluarkan izin untuk 17 proyek perumahan di empat kecamatan, yaitu Kartasura, Mojolaban, Baki, dan Grogol. Pada 2011, jumlah izin yang dikeluarkan bertambah, yakni 40 izin pembangunan perumahan baru.”Pada 2012, izin [pendirian perumahan] yang dikeluarkan ada 42. Lokasinya di tujuh kecamatan, yaitu Kartasura, Mojolaban, Baki, Grogol, Gatak, Bendosari, dan Sukoharjo,” ungkapnya ketika ditemui Solopos.com di ruang kerjanya, pekan lalu.

Advertisement

Ia menjelaskan pada 2010 Pemkab Sukoharjo mengeluarkan izin untuk 17 proyek perumahan di empat kecamatan, yaitu Kartasura, Mojolaban, Baki, dan Grogol. Pada 2011, jumlah izin yang dikeluarkan bertambah, yakni 40 izin pembangunan perumahan baru.”Pada 2012, izin [pendirian perumahan] yang dikeluarkan ada 42. Lokasinya di tujuh kecamatan, yaitu Kartasura, Mojolaban, Baki, Grogol, Gatak, Bendosari, dan Sukoharjo,” ungkapnya ketika ditemui Solopos.com di ruang kerjanya, pekan lalu.

Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Sukoharjo, Achmad Hufroni, kini pengembang tak hanya menyasar wilayah-wilayah di dekat Kota Solo. Beberapa pengembang sudah mulai melirik lokasi di wilayah Sukoharjo bagian tengah seperti Bendosari dan wilayah Sukoharjo bagian utara seperti Tawangsari.

“Perkembangan pesat proyek perumahan terjadi mulai 2011 hingga kini,” kata dia saat ditemui Solopos.com di kantornya, Kamis (28/8/2014).

Advertisement

Salah seorang pengembang perumahan yang enggan disebutkan identitasnya mengatakan mau membayar semua pungutan liar (pungli) atau pungutan tak resmi dari sejumlah pejabat karena sudah menginvestasikan banyak dana untuk pengembangan perumahan. Menurut dia, pengusaha lebih memilih membayar walau di luar ketentuan daripada tak memperoleh izin.

“Membeli tanahnya saja sudah mahal, apakah hanya karena pungutan yang nilainya lebih kecil lalu pengusaha seperti saya ini akan berhenti?” kata dia saat ditemui Solopos.com di Sukoharjo pekan lalu.

Menurut dia, perlakuan para pejabat itu memang bisa dianggap sebagai pemerasan. Ia tak mau dituduh menyuap karena dimintai, bukan menawarkan uang untuk kelancaran pengurusan izin.

Advertisement

“Saya mengurus [izin] sesuai prosedur, enggak titip, enggak pakai apa. Sebenarnya gampang, tapi dengan catatan [membayar setoran],” ujar dia.

Pengembang perumahan lainnya di Sukoharjo yang juga enggan disebutkan namanya, saat ditemui Solopos.com di Sukoharjo, Selasa (26/8/2014), mengatakan praktik pungli seharusnya sudah hilang. Ia mengatakan merasa terpaksa saat memberikan sejumlah uang kepada pejabat seperti camat untuk mendapatkan tanda tangan.

Ia berharap seiring dengan adanya presiden baru, terjadi perbaikan sistem perizinan di Sukoharjo dan tempat-tempat lainnya. Menurut dia, kini sudah saatnya proses perizinan diurus secara online. Proses perizinan yang panjang hendaknya dipangkas untuk meminimalisasi pungli seperti yang masih terjadi di Sukoharjo.

Advertisement

“Untuk masalah izin mendirikan bangunan (IMB), kalau aspek lingkungan sudah terpenuhi seharusnya tak dibebani dengan izin-izin lain. Tapi, pengembang juga enggak boleh seenaknya sendiri menyalahi kaidah teknis seperti syarat garis sempadan bangunan (GSB) dan  garis sempadan jalan (GSJ). Kalau syarat-syarat sudah beres, apa lagi yang mau dipermasalahkan?” ujar sumber Solopos.com ini.

Ia mengatakan pelaku bisnis, termasuk pengembang perumahan, sebenarnya tak keberatan dengan syarat-syarat yang bersifat prinsip. Pelaku bisnis juga menginginkan kepastian atas pengurusan izin yang sedang diproses aparat pemerintah.

“Seharusnya ada schedule yang jelas untuk mengurus izin. Ada tahapan, lamanya pengurusan, dan sebagainya. Misalnya sepekan di meja ini, lalu sepekan selanjutnya di meja lain, dan selanjutnya. Jangan sampai persyaratan perizinan tidak masuk akal karena tendensi mau njaluk [minta] uang,” kata dia.

Ia lebih senang mengikuti syarat yang ketat, tetapi dilakukan sesuai jalur yang tepat. Masalah retribusi ia ikhlas membayar lebih mahal asal ada jaminan uang yang ia bayarkan masuk ke kas negara/daerah.

“Biaya pengurusan izin agak besar enggak apa-apa. Tapi kroco-kroco enggak dapat [setoran]. Biar uangnya enggak masuk kantong pribadi,” kata dia.

Sesuai Perbup
Terpisah, Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Sukoharjo, Teguh Pramono, saat ditemui Solopos.com di ruang kerjanya, Jumat (22/8/2014), mengatakan selalu bekerja sesuai Peraturan Bupati (Perbup) No. 24/2007 tentang Standar Operasi Pelayanan. Ia mengatakan tak mungkin melangkahi atau melanggar aturan tersebut.

Ia menjamin KPPT Sukoharjo tak akan menarik uang sepeserpun selain retribusi yang ditetapkan perda dan Perbup Sukoharjo. Menurut dia, dari 14 jenis perizinan yang diterbitkan KPPT Sukoharjo, retribusi hanya dikenakan untuk IMB dan izin hinder ordonantie (HO) atau izin gangguan. Selebihnya gratis.

”Kadang, ini lamanya di SKPD terkait karena [pelayanan perizinan] belum sepenuhnya satu pintu. Setiap SKPD punya SOP sendiri. Kami ini baru kantor. Kalau sudah berbentuk badan, insya Allah bisa lebih cepat. Selanjutnya, setelah semua izin itu dikantongi pemohon, KPPT segera menerbitkan izin,” kata Teguh.

Apapun bantahan pejabat publik yang disebut para pengusaha properti telah membebani mereka dengan pungutan-pungutan tak resmi, pada kenyataannya masyarakat dirugikan. Satu sumber Solopos.com yang bergerak di sektor bisnis ini mengakui tak terlalu dirugikan oleh ulah pejabat publik mata duitan itu.

Betapa tidak? Biaya-biaya yang diciptakan oleh para birokrat itu akhirnya dibebankan kepada pembeli rumah. “Pengusaha kan enggak ada yang mau rugi. Jadi, mau bagaimana lagi agar tidak rugi selain membebankan biaya-biaya itu ke konsumen?” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif