Harianjogja.com, BANTUL-Gamelan kini menjadi salah satu perangkat alat musik yang produksinya sangat terbatas akibat minimnya perajin. Darto Harjono alias Dono adalah salah satu perajin di Bantul yang hingga kini masih bertahan. Bagaimana kisah perajin gamelan ini?
Darto Harjono sudah pandai memainkan gamelan sejak usia 13 tahun. Gamelan, bagi pria lima anak itu bukan barang asing. Kakeknya sudah biasa membuat gamelan sejak 1931. Keterampilan itu lalu menurun ke ayahnya. Sebelum era 1980-an, lelaki yang biasa disapa Dono itu biasa memainkan gamelan dari satu pentas ke pentas lainnya. Namun rupanya, pekerjaannya sebagai niyaga atau penabuh gamelan dianggap tidak cukup menghidupi keluarganya. Memasuki 1985, ia memulai pekerjaanya sebagai perajin gamelan.
“Jadi awalnya itu jadi perajin karena kepepet, anak isteri mau dikasi makan apa,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya di Dusun Martosanan Kulon, Potorono, Banguntapan, Bantul, Minggu (31/8/2014).
Pekerjaan kakek dan ayahnya yang merupakan empu pembuat gamelan membuat keterampilan Dono terasah. Gamelan bagi Dono tidak hanya sekadar alat musik berbahan perunggu atau kuningan yang dibentuk sedemikian rupa. Membuat gamelan tidak hanya butuh keahlian menciptakan alat musik tersebut namun harus pandai mencermati bunyi gending atau musik yang dihasilkan saat gamelan dimainkan. Setiap tebal bagian alat musik gamelan memiliki ukuran tertentu hingga bunyi yang dihasilkannya merdu.
“Kalau orang yang tahu kualitas gamelan, dari bunyi yang dihasilkan saja sudah tahu. Bunyi musik dari gamelan yang kualitasnya bagus lebih merdu,” paparnya.