News
Jumat, 29 Agustus 2014 - 15:30 WIB

POLEMIK UU MD3 : Dianggap Hambat Penyidikan Anggota DPR Bermasalah, UU MD3 Digugat

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi rapat paripurna DPR (Dok/JIBI/Antara)

Solopos.com, JAKARTA — Aturan mengenai penyidikan terhadap anggota DPR seperti yang tercantum dalam UU No.17/2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Perkara yang teregistrasi dengan nomor 76/PUU-XII/2014 dan 83/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana dan beberapa pemohon perseorangan kepada MK. Hal tersebut sesuai dengan yang dilansir situs resmi MK, Jumat (29/8/2014).

Advertisement

Dalam pokok permohonannya, pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketentuan tersebut. Menurut para pemohon, ketentuan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pembatasan dan intervensi yang dilakukan oleh lembaga di luar sistem peradilan pidana yaitu Mahkamah Kehormatan DPR dan berpotensi menimbulkan gangguan secara langsung atau tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak hukum.

Menurut pemohon, hal tersebut disebabkan oleh pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan DPR paling lama 30 hari sejak diterimanya permohonan.

Hal tersebut berisiko menghambat penyidik dalam melakukan pencarian dan pengumpulan bukti. Pemohon menilai, dengan tenggat waktu 30 hari dalam pasal tersebut, menjadi sangat berisiko jika anggota DPR melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti.

Advertisement

Pemohon juga menganggap adanya tenggat waktu juga tidak sejalan dengan prinsip cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan pidana. Selain itu, aturan tersebut memperlambat proses peradilan karena prosedur perijinan yang bertambah dan rumit, serta akan menambah biaya.

Pemohon juga mendalilkan UU tersebut melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum karena adanya tindakan diskriminatif bagi anggota DPR. Pemohon berpendapat bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, harus diberlakukan sama di hadapan hukum dan tidak diberikan keistimewaan saat menjalani proses hukum. 

Atas dasar tersebut, para pemohon meminta MK untuk membatalkan ketentuan Pasal 245 UU No. 17/2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27/2009 tentang karena bertentangan dengan UUD 1945. Menanggapi hal itu, majelis hakim konstitusi yang dipimpin oleh Aswanto memberikan saran perbaikan kepada pemohon.

Advertisement

Dalam keterangannya, Aswanto meminta agar pemohon betul-betul memperhatikan UU yang dimohonkan oleh pemohon. Hal tersebut karena barang bukti masih berupa rancangan UU. “Rancangan UU bisa berbeda dibanding dengan UU aslinya karena masih memungkinkan ada perubahan di DPR. Untuk itu, pemohon harus berhati-hati jangan RUU-nya yang dicantumkan, tapi UU-nya,” jelasnya.

Sementara itu, terkait kedudukan hukum Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana, hakim konstitusi lainnya Maria Farida Indrati menjelaskan kedudukan hukum masih belum jelas. “Kerugian konstitusional apa yang dialami pemohon sebagai badan hukum privat dengan adanya pasal ini? Kalau hanya concern saja, itu tidak bisa,” terang Maria.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif