News
Jumat, 29 Agustus 2014 - 19:30 WIB

KENAIKAN HARGA BBM : Buku Putih PDIP, Apakah Itu?

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aktivis PDI Perjuangan menggelar aksi demonstrasi di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Tugu Tani, Matraman, Jl Pemuda dan Jl Salemba di dekat RS Carolus untuk menolak rencana kenaikan harga BBM yang hendak dilakukan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (17/6/2013).(JIBI/Solopos/Detikcom/Andre)

Solopos.com, SOLO — Buku Putih PDIP mendadak jadi topik bahasan menarik para pengamat politik dan ekonomi seiring sikap calon presiden terpilih dalam Pilpres 2014 Joko Widodo alias Jokowi untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Jokowi bersikukuh harga BBM harus naik kendati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jelas menyatakan bahwa kini tak tepat waktunya untuk menaikkan harga BBM seperti kehendak Jokowi. Sikap itu tentu saja didukung oleh sebagian politikus PDIP yang mendukung Jokowi, serta media massa yang sejak Pilpres 2014 lalu menjadi saluran propaganda Jokowi-JK.

Advertisement

Di tengah hiruk pikuk pemberitaan terkait pro dan kontra kehendak Jokowi itu, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf, sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara mengingatkan PDI Perjuangan soal buku Postur APBN-P 2013 Pro Desa Versi PDI Perjuangan: Sikap Fraksi PDI Perjuangan terhadap Usulan APBN-P versi Pemerintah yang pernah diterbitkan partai berlambang banteng moncong putih itu. Buku yang belakangan disebut “buku putih PDIP” itu pun jadi sorotan.

“Buku ini ibarat buku panduan bagi anggota fraksi maupun struktur partai dari tingkat pusat dan daerah.”

Advertisement

“Buku ini ibarat buku panduan bagi anggota fraksi maupun struktur partai dari tingkat pusat dan daerah.”

Apakah “buku putih PDIP” tersebut? Berdasarkan penyisiran dokumentasi berita yang Solopos.com lakukan, terungkap bahwa buku bersampul merah itu adalah buku yang diterbitkan lalu diedarkan oleh Fraksi PDI Perjuangan DPR pada 17 Juni 2013 untuk mengganjal rencana Pemerintahan SBY menaikkan harga BBM saat Rapat Paripurna DPR dengan agenda pembahasan APBNP 2013, Senin 17 Juni 2013.

FPDIP DPR melalui buku itu menegaskan adanya alternatif lain yang bisa dilakukan SBY selain menaikkan harga BBM. Buku itu, berdasarkan catatan Viva.co.id, dibagi-bagikan kepada seluruh anggota DPR, wartawan, dan juga pengunjung ketika Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (30/3/2012).

Advertisement

Kegagalan Pemerintah
Dikutip Viva.co.id dari buku tersebut, PDIP menjelaskan sejarah APBN sejak zaman pemerintah pada era Orde Baru yang menyebut APBN sebagai APBN berimbang. Artinya, besar penerimaan sama dengan pengeluaran. Hal ini terlihat dalam pos belanja negara terdapat dua pos pembiayaan yang dibiayai dari utang, yaitu pos pembiayaan program dan pos pembiayaan luar negeri.

PDIP juga menjelaskan, sejak era Orde Baru, APBN yang merupakan neraca keuangan negara itu sebetulnya sudah defisit. Biasanya, defisit itu dibiayai oleh uang yang bersumber dari utang negara, baik dalam dan luar negeri. Dari tahun ke tahun, utang negara semakin menumpuk sehingga pada 2012 utang negara RI sudah menembus angka Rp1.800 triliun. Artinya, Indonesia masuk dalam perangkap utang (debt trap).

Namun, pada APBN Perubahan tahun 2013 ini, pemerintah kembali mengajukan utang negera senilai Rp215,43 triliun. PDIP menyebutkan, rasio pembayaran utang luar negeri RI terhadap debt service ratio (DSR) pada 2012 sudah mencapai 34,9 %. Artinya, sudah dalam tahap berbahaya karena seharusnya dijaga tidak lebih dari 20%.

Advertisement

Saat 2013 itu, menurut FPDIP dalam Buku Putih PDIP tersebut, negara dalam keadaan darurat utang. Selain itu, dalam rancangan APBNP 2013 yang diajukan pemerintah, asumsi makro target pertumbuhan ekonomi 2013 turun dari 6,8% menjadi 6,3%. Padahal PDIP menghitung pertumbuhan ekonomi sebesar 1% akan menyarap 450.000 tenaga kerja. Tak hanya itu, penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi juga akan menyebabkan penurunan penerimaan pajak.

“Kenaikan BBM sebagai langkah pemerintah menutupi kegagalan dalam mengurus penerimaan negara sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi.”

Dalam analisis PDIP, RAPBNP 2013 versi pemerintah menyiratkan kegagalan untuk mengoptimalkan penerimaan negara, sehingga negara mengalami defisit Rp41 triliun. Ironisnya, pemerintah mencari sumber penerimaan baru dengan menaikkan harga BBM bersubsidi sehingga dapat melakukan penghematan senilai Rp42 triliun.

Advertisement

PDIP melalui Buku Putih mereka berpandangan, kenaikan BBM sebagai langkah pemerintah menutupi kegagalan dalam mengurus penerimaan negara sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Kenaikan harga BBM bersubsidi hanyalah upaya pemerintah memperoleh dana Rp42 triliun yang akan digunakan untuk program pencitraan seperti BLSM dan Bansos sebanyak Rp30 triliun.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif