Soloraya
Sabtu, 23 Agustus 2014 - 04:41 WIB

KISAH INSPIRATIF : Kebutaan Tuntun Banjir Jadi Pemijat Andal

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Penyandang tunanetra, Srihanto “Banjir” Joko Subeno, 48, sedang memijat sahabatnya Mulyadi, 67, di rumahnya di Kampung Surobawan, Kartopuran, Jayengan, Solo. Profesi memijat dijalani Banjir sejak 1997. (Aeranie Nur Hafnie/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Sekilas, lelaki yang biasa dipanggil Banjir ini tak berbeda dari lelaki sebayanya. Hanya kala dia beranjak dari tempat duduk, tangannya seperti meraba-raba apa saja di sekitarnya. Banjir memang mengalami kebutaan saat usianya 27 tahun, namun kondisi itu tak membuatnya berputus asa untuk terus berusaha.

Banjir tengah duduk diam di atas sofa memanjang yang diselimuti dengan kain putih kusam kala Koran O (Grup Solopos) menemuinya di Kampung Surobawan, Kartopuran, Jayengan, Solo, Selasa (6/8/2014). Suara dentingan genta angin dari bambu yang menenangkan menemani laki-laki tersebut menikmati semilir angin yang masuk ke dalam rumah munggilnya.

Advertisement

Kehilangan penglihatan di usia produktif menjadi pukulan berat yang ditanggung laki-laki yang bernama lengkap Srihanto Joko Subeno tersebut. Dalam kurun waktu dua tahun pada medio 1991 hingga 1993, laki-laki kelahiran 17 Maret 1966 itu perlahan-lahan kehilangan daya penglihatannya hingga akhirnya buta total pada Agustus 1993.

Kondisi kedua matanya yang tak lagi bisa melihat praktis mengubah hidup Banjir. Pada awalnya Banjir terguncang secara psikologis. Namun berkat dukungan keluarga, teman-teman dan orang-orang di sekitarnya, Banjir bisa mengatasi guncangan psikologis itu.“ Alhamdulillah saya bersyukur tidak sampai depresi menghadapi perubahan itu,” ujar Banjir.

Namun perubahan temperamental sempat dialami Banjir pada periode awal setelah kedua matanya tidak bisa melihat. “Pada masa transisi kan biasa membutuhkan adaptasi. Pada awalnya memang terjadi perubahan temperamental namun setelah itu emosi saya kembali stabil,” kenang Banjir.

Advertisement

Ujian kehidupan ini tak lantas membuat Banjir putus asa. “Saya punya prinsip hidup terus berjalan, saya harus hidup. Saya harus bisa menjalani hidup dengan baik, menjalani kehidupan normal, menikah dan mempunyai anak,” ujarnya.

Dunia yang berubah menjadi gelap dalam penglihatannya lalu menuntun Banjir ke pekerjaan yang digelutinya sampai sekarang, tukang pijat panggilan. Pada 1995 Banjir berinisitif belajar memijat di panti rehabilitasi bagi penyandang tunanetra di Jongke, Pajang.

Selama dua tahun Banjir belajar memijat. Kini dia menjadi pemijat andal dan memiliki banyak pelanggan yang menggunakan jasa memijatnya. Dalam sehari dia bisa lima kali memijat dengan durasi dua jam sekali memijat. Keberadaan sebuah hotel di dekat rumahnya membawa rezeki bagi Banjir karena sebagian besar pelanggannya adalah para tamu di hotel tersebut. “Pelanggan dari luar juga banyak seperti dari Jaten, Kartasura dan Solobaru,” kata Banjir.

Advertisement

Dengan kondisinya yang tidak bisa melihat, Banjir biasanya dijemput pelanggannya. Jika pelanggannya tidak bisa menjemput, dia diantar becak langganannya yang dikemudikan Mulyadi, 67, untuk memenuhi panggilan ke rumah para pelanggannya.

Mulyadi yang juga sahabat Banjir mengaku kagum melihat perjuangan sang sahabat. “Dia seorang pekerja keras dan sangat gemati [perhatian] dengan anak-anaknya. Dia juga baik dengan semua teman-teman,” kata Mulyadi.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif